A. PENDAHULUAN
Masyarakat merupakan kemajemukan
dari berbagai unsur, baik etnis, budaya dan agama. Keberagaman dan pluralitas
di dalamnya begitu kental mewarnai kemajemukan ini. Mulai dari keanekaragaman budayanya yang saling
berbeda antara daerah satu dan lainnya, negara satu dengan negara lainnya,
etnis yang bermacam-macam dengan tradisi yang berbeda pula, agama yang berbeda,
tingkat sosial dan tatanan sosial lainnya.
Dalam keberagaman dan kemajemukan
ini, peran agam sangatlah berpengaruh. Agama sebagai realitas pengalaman
manusia dapat diamati dalam aktivitas kehidupan keagamaannya sehari-hari,
meliputi aspek-aspek kepercayaan, ibadat, pengelompokan umat, dan emosi
keagamaan. Dalam hal ini agama mempunyai hubungan vertikal (hubungan terhadap
Tuhannya) dan hubungan horizontal (hubungan antara individu dan lingkungan
sekitar). Oleh karena itu agama sebagai sistem kepercayaan tentu memerlukan
masyarakat sebagai tempat memelihara dan mengembangkan agama.
Pemahaman sikap dan prilaku
keagamaan senantiasa berkembang mengikuti pikiran manusia. Sekalipun agama dan
kitab suci diyakini berasal dari Tuhan, penafsirannya dilakukan oleh manusia
dan pelaksananya berlangsung dalam masyarakat manusia. Jelasnya agama dan
masyarakat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan
selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Agama sebagai sistem yang mengatur
makna dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebgai gejala sosial, sering kali
dianggap tidak berperan sama sekali ketika dihadapkan pada konflik-konflik yang
terjadi dalam masyarakat entah itu penjarahan, tawuran, pembunuhan,
pemerkosaan, konflik antar ras, konflik antar kelompok beragama seperti
pembakaran gereja (peristiwa ketapang, Jakarta 1998), pembakaran masjid
(Kupang, Januari 1999) dan konflik sosial antar suku berupa pembunuhan di
Sambas (Kalimantan Barat, 1999), dan Sampit (Kalimantan Tengah, 2001). Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul
adalah:
1)
Peran agama dalam konflik masyarakat, sebagai akar atau sebagai jalan tengah?
2)
Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat?
Makalah kami ini disusun dalam
rangka menjawab dan menjelaskan permasalahan-permasalahan diatas. Karena sangat
ironis sekali jika agama dituding berada dibalik semua itu atau tidak punya
peran/fungsi.
B. PEMBAHASAN
Agama Dalam Konflik Masyarakat
Selama satu decade di akhir abad
20, beberapa konflik meledak di banyak wilayah dunia,terutama Indonesia.
Menurut pandangan banyak analis politik dan ilmuwan social, era perang dingin
dan konflik ideologis telah menghantarkan pada era perang etnik dan konflik
kebudayaan. Konflik etnik adalah gambaran yang tak dapat ditolak dalam panorama
sosio-politik kontemporer.
Mobilitas penduduk dari satu daerah
ke daerah lain, ditunjang oleh perkembangan modernitas seperti : kemudahan transportasi, tekhnologi
informasi dan media cetak maupun elektronik, serta program transmigrasi dari
pemerintah menimbulkan pergeseran
nilai-nilai budaya antar etnis terasa sebagai “cultural shock”[1],
mengingat adanya kesenjangan budaya yang demikian besar antar etnis di
Indonesia. Pergeseran dari interaksi nilah yang menimbulkan riak-riak kecil,
yang dapat merupakan ancaman budaya dan agama masyarakat, ketika kepentingan
lain juga memasuki wilayah itu, misalnya : kepentingan ekonomi dan bahkan
kepentingan politik.
Ditinjau dari aspek budaya, adanya
perbedaan budaya yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku manusia,
temperamen maupun emosi sangat kasat mata bentuknya. Budaya dan tradisi yang
sudah turun-temurun mengalami semacam ancaman dengan pergeseran dan datangnya
kultur-kultur yang baru. Kesenjangan sosial baik karena faktor ekonomi maupun
politik, tingkat pendidikan yang tidak seimbang, heterogen agama dan
pemahamannya serta kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya,
menimbulkan ketegangan-ketegangan konflik dalam masyarakat, yang mana
nilai-nilai agama dan umat beragama dapat terlibat secara langsung.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Indonesia, meskipun sering dibantah atau ditutup-tutupi, sesungguhnya
membenarkan bahwa memang ada aspek agama yang menyertai konflik, meskipun
konflik itu berawal dari masalah di luar agama.
Melihat kehadiran agama yang
merembes di berbagai daerah konflik etnik, bukan berarti bahwa agama sebagai
penjelasan terbaik tentang konflik-konflik tersebut. Hanya karena suatu faktor
(dalam kasus agama) hadir dalam kasus tertentu, tidak berarti ia dominan atau
utama, faktor-faktor lain bisa jadi
lebih dominan. Perbedaan sosio-ekonomi antara kelompok-kelompok etnik itu
sendiri dapat memberikan penjelasan yang tepat bagi hampir semua konflik etnik.
Hubungan sebab-akibat antara agama
dan konflik etnik adalah persoalan yang cukup problematik. Dalam banyak kasus,
agama adalah etnisitas, identitas agama merupakan unsur utama pembentuk
identitas etnik[2].
Identitas agama pada umumnya
ditransformasi menjadi identitas etnik dalam waktu yang panjang. Suatu agama
sering memulainya sebagai kredo/keyakinan abstrak dengan tampilan dan ruang
lingkup universal. Kemudian agama mengkristal menjadi seperangkat ritual dan
kebiasaan yang lebih kongkret yang membedakan komunits tertentu dari komunitas
lainnya. Kemudian komunitas agama menjadi komunitas etnik. Inilah yang
menyebabkan adanya pandangan bahwa agama adalah sebuah budaya, padahal agama
adalah wahyu Tuhan yang masuk membenahi budaya-budaya yang ada.
Dalam konflik-konflik masyarakat,
agama dikatakan Komarudin Hidayat, datang dengan wajah ganda, sebagai kekuatan konstruktif
sekaligus destruktif, sebagai pendorong perdamaian sekaligus kerusuhan.[3]
Akan tetapi pada saat konflik terjadi agama kurang begitu berperan dan
dipandang sebagai kekuatan destruktif, karena dituding sebagai akar dari
gejolak konflik, sedangkan peran konstruktif baru muncul saat setelah konflik
berakhir. Disini agama berperan sebagai pendamai melalui berbagai dialog antar
umat beragama, peran tokoh-tokoh agama dan lembaga-lembaga keagamaan.
Sedangkan dalam buku Agama dan
Keberagamaan[4],
berpendapat bahwa, konflik masyarakat ini masalahnya bukan karena agama datang
dengan menimbulkan konflik/sebagai akar masalah, dan tampil tanpa moral dan
nilai-nilai kesusilaan, tetapi karena para pemeluknya telah mengekspresikan
kebenaran agamanya secara monolitik dan ekslusif dalam artian bahwa
subjektivitas kebenaran yang diyakininya sering kali menafikan kebenaran yang
diyakini pihak lain, padahal hakekatnya esensi semua agama adalah mengajak pada
kebenaran yang mutlak yaitu tuhan YME.
Masyarakat adalah gabungan dan
kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam
kesepakatan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu:
1.
Masyarakat
homogen
2.
Masyarakat
majemuk
3.
Masyarakat
heterogen
Masyarakat homogen ditandai oleh
adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku
bangsa dengan satu kebudayaan yang dinginkan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam bentuk satuan-satuan masyarakat
berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar
seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah
suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Amerika
(Parsudi Suparlan, 1995: 8-11).
Selanjutnya masyarakat heterogen
memiliki ciri-ciri bahwa:
1.
Pranata-pranata
primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh
pemerintah nasional;
2.
Kekuatan-kekuatan
politik suku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui
pengorganisasian yang berlandaskan pada solidaritas;
3.
Memiliki pranata
alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbadaan dan
keragaman.
Adanya tingkat kemajuan yang tinggi
dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari perkembangan
pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.
Masalah agama tidak akan mungkin
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Fungsi agama dalam masyarakat antara
lain:
1)
Berfungsi
Edukatif
Para penganut agama berpendapat
bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus
dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua
unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan
agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut
ajaran agama masing-masing.
2)
Berfungsi
penyelamat
Di manapun manusia berada dia
selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang meliputi bidang yang luas
adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh
agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia
dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para pengannutnya melalui:
pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
Pelaksanaan pengenalan kepada unsur
(zat supernatural) itu bertujuan agar
dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah
mennuju ke arah itu secara praktisnya dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai
dengan ajaran agama itu sendiri, antaranya:
·
Mempersatukan
diri dengan Tuhan (Pantheisme)
·
Pembebasan dan
pensucian diri (penebusan dosa)
·
Kelahiran
kembali (reinkarnasi)
Untuk itu dipergunakan berbagai lambang
keagamaan. Kehadiran Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda
lambang. Kehadiran dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi
sedangkan kehadirannya dalam menggunakan benda-benda lambang melalui:
a.
Theophania
spontanea: Kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam
benda-benda tertentu: tempat angker, gunung, arca dan lainnya.
b.
Theophania
innocativa: Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena
dimohon, baik malalui invocativa religius (mantera, dukun) maupun invotiva
religius (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).
3)
Berfungsi
sebagai perdamaian
Melalui agama seseorang yang
bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.
Rasa beerdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya
apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya malalui: tobat, pensucian
ataupun penebusan dosa.
4)
Berfungsi
sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan
ajaran agama yang dipeliknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut,
baik secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh pengannutnya
dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai
pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:
a.
Agama secara
instansi, merupakan norma bagi penganutnya.
b.
Agama secara
dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu,
kenabian).
5)
Berfungsi
sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama
secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: Iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok
maupun perorangan , bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang
kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa
kebangsaan.
6)
Berfungsi
transformatif
Ajaran agama dapat mengubah
kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan
ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada
adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
7)
Berfungsi
kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak
para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya
sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja
disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga
dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8)
Berfungsi
sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala
usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang
bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Alloh
merupakan ibadah[5].
C.
KESIMPULAN
Hubungan erat antara agama dan
masyarakat adalah tidak berarti agama yang harus menyesuaikan masyarakatnya.
Tetapi perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran
agama. Keberagaman dalam masyarakat sangat rentan menimbulkan gesekan-gesekanterjadinya
konflik.
Konflik-konflik yang terjadi dalam
masyarakat walaupun berbau agama, bukan berarti konflik ini dipicu pleh
ketegangan agama akan tetapi yang paling mempengaruhi adalah faktor-faktor
diluar agama sebagai ras, budaya, suku, sosial, ekonomi, dan politik. Konflik
dari faktor-faktor ini kemudian menjalar ke wilayah agama dan menjadikan
konflik ini sebgai konflik agama. Dalam hal ini, agama tidak terlalu berperan
mengatasi konflik karena dikesampingkan oleh ego dan identitas kelompok.
Fungsi agama dalam kehidupan
masyarakat yaitu berfungsi edukatif, penyelamat, pendamaian, sosial control,
pemupuk rasa solidaritas, transformatif, kreatif, dan sublimatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidhawy,
Zakiyunddin, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan, LESFI,
Jogjakarta, 2002.
Ghazali, Adeng
Muchtar, Agama dan Keberagamaan, Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Jalaludin, Psikologi
Agama, PT Raja Graffindo Persada, Jakarta, 2003.
Lubis, Ridwan, Letak
Biru Peran Agama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2005.
Muhaimin, Damai
di Dunia, Damai Untuk Semua, Puslitbang kehidupan beragama, Jakarta, 2004.
[1]
Muhaimin A.G., Damai di
Dunia, Damai Untuk Semua, (Jakarta: Puslitbang kehidupan Beragama, 2004), hlm.
109.
[2] Zakiyiddin Baidhawy, Ambivalensi
Agama, konflik dan Nirkekerasan, (Jogjakarta: LESFI, 2002), hlm. 57.
[3]
H.M. Ridwan Lubis, Cetak
Biru Peran Agama, dalam pengantar editor, (Jakarta: Puslibang, 2005), hlm.
X
[4] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, Agama
Dan Keberagamaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 125.
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm. 247.
salam ukhuwah.... saya jadi bertanya2,
BalasHapussatu, apa maksud "Tetapi perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama"?
kedua, di kesimpulan: "perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama"
tiga, lalu standar kebenaran itu apa? perilaku masyarakat kah? agama kah? atau apa?
empat, klo agama bukan sbg standar perilaku masyarakat kenapa dihubung2kn dgn konflik, dll?
lima, lalu apa sebenanya yg menyebabkan berbagai masalah timbul di masyarakat?
terima kasih ... sala admin blog http://putra-dayeuhluhur.blogspot.com/