Mas_Anam 56 merupakan sebuah wadah mencurahkan gagasan dan ide-ide berlian yang mampu merubah diri kita, lingkungan kita dan negara kita.bersama kita bisa. berfikir ilmiah, berilmu amaliah, beramal ilahiyah
Cari Blog Ini
Senin, 28 November 2011
OTENTISITAS WAHYU TUHAN DALAM HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI
Sebagaimana penjelasan yang ada di bab sebelumnya, bahwa hermeneutika sebagai aksiomatik adalah proses deskripsi terhadap hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif dan universal. Dalam hermeneutikanya tersebut, Hanafi bermaksud menawarkan konsep sebuah metode penafsiran yang bersifat rasional, objektif, dan universal untuk memahami teks-teks Islam. Pendekatan yang dilakukan Hanafi dalam usaha memahami teks-teks Islam tersebut, merupakan pendekatan yang hampir sama dengan pendekatan fenomenologi, yakni adanya disiplin yang apodiktis yang tidak lain menginginkan ketidak adanya sifat keragu-raguan.
Sejalan dengan kepentingan fenomenologi yang apodiktis tersebut, Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam kaitannya dengan teks-teks kitab suci sebagai suatu masalah teoritis yang krusial. Sebab kritik sejarah menurut Hanafi berfungsi menjamin keaslian firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi dalam sejarah, baik melalui medium lisan maupun tertulis.
Bagi Hanafi, otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini haruslah terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, spiritual. Keyakinan kitab suci tidak dijamin oleh semisal taqdir Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama maupun pranata sejarah apapun.
Gagasan mengenai wahyu secara menyeluruh ditentukan Tuhan dan diturunkan kepada manusia melalui nabi-nabi (dan malaikat). Gagasan wahyu ini menembus, mencerahkan dan memberi makna pada seluruh realitas konkret, yang kemudian menjadi representasi peraturan sentral bagi kaum Yahudi, Kristen, dan Islam, dan mendominasi seluruh sejarah masyarakat yang tersentuh oleh gagasan ini.
Wahyu dalam al-Qur’an, pertama-tama merupakan hasil pembuktian linguistik berupa struktur sintaksis. Dalam semiotika wacana al-Qur’an, ia menyediakan sebuah ruang komunikasi yang secara total diartikulasikan untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu tersebut.
Untuk mendekati tradisi pemikiran tentang wahyu dalam tradisi Islam dan tradisi-tradisi lainnya yang kaya dan yang telah berkembang, diperlukan sebuah penelitian yang seksama terhadap sumber-sumber tradisional untuk menghilangkan konsep sentral ortodoksi terhadap tradisi-tradisi tersebut.
Oleh hal itulah, berikutnya pembahasan ini akan memaparkan mengenai pengertian wahyu secara umum, kemudian diikuti pembahasan mengenai otentisitas wahyu Tuhan.
A. Pengertian Wahyu Secara Umum.
1. Pengertian Wahyu.
Untuk memahami arti wahyu, banyak orang yang memahaminya dengan menggunakan beberapa pendekatan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Mohammed Arkoun. Wahyu bagi Arkoun harus dipahami dengan berbagai metode pendekatan, terutama dengan metode hermeneutik, semiotik, dan linguistik. Dengan kacamata historis antropologis, Arkoun menjelaskan bahwa wahyu, maknanya dibedakan dengan tiga tingkatan. Pertama, wahyu sebagai kalam Tuhan, yang transenden, tak terbatas dan tidak diketahui secara keseluruhan. Manusia hanya mengetahui bagian-bagiannya yang sudah diwahyukan kepada para Nabi. Tingkatan ini dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-lawh} al-mah}}fu>z}}} atau umm al-kita>b.
Kedua, penampakan wahyu dalam sejarah melalui nabi-nabi Israel ditransformasikan melalui bahasa Ibrani, sedangkan dalam Isa melalui bahasa Arama, dan Muhammad melalui bahasa Arab. Pada mulanya wahyu ini bersifat lisan; yakni diingat dan dihapalkan secara lisan dalam waktu yang lama sebelum ditulis. Tingkatan inilah yang dalam metode linguistik disebut oleh Arkoun sebagai “ujaran satu.”
Ketiga, wahyu yang sudah tertulis. Tipe ini disebut oleh Arkoun sebagai official closed canons (korpus resmi tertutup). Tingkatan inilah yang mempunyai pengaruh paling besar dalam sejarah wahyu dan merupakan kekuatan yang menentukan dalam sejarah masyarakat kitab. Tingkatan ini selanjutnya disebut sebagai “ujaran kedua.”
Selanjutnya, kata wahyu -jika dilihat dari segi bahasa- sebenarnya mempunyai banyak arti. Wahyu dalam bahasa Arab berasal dari fi’il mad}i وحى “wah}a” yang berarti penyampaian pengetahuan kepada seseorang secara samar dan orang tersebut memahami apa yang disampaikannya. Sedangkan kamus Lisa>n al-Arabi, memasukkan makna-makna lain seperti, “ilham, isyarat, tulisan, dan kalam” ke dalam kata wahyu.
Menurut Izutsu, wahyu merupakan salah satu kata yang kerap kali digunakan dalam sya’ir pra-Islam dan juga digunakan dalam Islam. Dari segi semantik, Izutsu membedakannya menjadi tiga kelompok: pertama, komunikasi. Hal ini terjadi karena wahyu dalam proses turunnya dari Tuhan ke malaikat diteruskan sampai ke Muhammad, mengandaikan -dan terdapat- lebih dari satu orang, minimal dua orang.
Kedua, tidak harus bersifat verbal. Dengan kata lain, isyarat-isyarat yang digunakan dalam komunikasi tidak selalu bersifat linguistik. Ketiga, selalu tedapat hal-hal yang bersifat misterius, rahasia dan pribadi.
Dengan demikian makna sentral dalam bahasa Arab adalah “pemberian informasi secara tersembunyi.” Kata ini tentunya juga mengandung nilai rahasia yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi tersebut. Sementara dalam komunikasi tersebut, terkadang menggunakan media bahasa dengan bahasa simbolnya.
Proses pemberian informasi dalam proses turunnya wahyu mengandung adanya tiga unsur yang saling terkait, yaitu; pertama, adanya dua subyek yang terlibat dalam komunikasi, kedua, adanya media komunikasi dan ketiga, media harus berjalan secara samar-samar tersembunyi dan hanya dipahami oleh dua subyek yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
Hanya saja, perlu digaris bawahi bahwa wahyu tidak saja dimiliki manusia, juga tidak datang dari Tuhan, tapi juga dimiliki selain manusia, seperti jin, setan, hewan dan malaikat. Demikian juga wahyu yang datang –kemungkinan- bukan dari Tuhan, mungkin bisa datang semisal dari setan. Namun demikian, yang hendak dikaji dalam pembahasan berikut ini adalah mengenai otentisitas wahyu yang datang dari Tuhan sebagai rujukan dan referensi bagi umat beragama.
Tuhan dalam menurunkan wahyu kepada hamba-Nya senantiasa mengalami adanya proses. Proses turunnya wahyu –menurut Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n- sangat begitu cepat. Ia merupakan isyarat. Hal itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, kadang juga melalui isyarat dari salah satu anggota badan. Hal ini barangkali dikarenakan kata al-wah}y atau wahyu merupakan mas}dar (infinitif), yang dari materi kata tersebut mempunyai dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itulah, wahyu merupakan pemberitahuan secara tersembunyi dan begerak cepat, dan hanya ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang lain. Hal tersebut merupakan wujud empirik bahwa Tuhan telah menjadikan wahyu sebagai alat komunikasi dengan hamba-Nya.
2. Wahyu Sebagai Bentuk Komunikasi Tuhan.
Semua umat yang beragama mengakui bahwa kitab suci mereka merupakan kalam Tuhan yang diturunkan kepada hambanya melalui pembawa risalah (rasul) masing-masing umat. Semisal al-Qur’an, ia diakui sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad sebagai pembawa risalah melalui perantara malaikat Jibril. Pemahaman yang demikian ini selanjutnya, akan menuntun pada teorisasi wahyu yang masuk dalam bingkai teori komunikasi. Hal ini terjadi karena kalam Tuhan diartikan sebagai “Proses Tuhan berbicara dengan hamba-Nya.” Proses bicara Tuhan dengan manusia ini, dipahami dalam kerangka konsep linguistik, yakni Tuhan sebagai komunikator aktif sedangkan Muhammad di satu sisi merupakan pihak yang pasif.
Pembicaraan Tuhan dengan Muhammad melalui sang perantara tesebut melibatkan medium, atau kode komunikasi yang berupa bahasa Arab. Model komunikasi yang melibatkan aspek linguistik tersebut kemudian menjadi rujukan dan pijakan pemahaman kitab suci sebagai teks. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kitab suci adalah sama dan sejajar dengan teks-teks kemanusiaan lainnya. Sebaliknya, penempatan al-Quran sebagai teks, tetap memposisikannya sebagai teks sakral berbahasa Arab, sehingga perangkat kearaban merupakan elemen niscaya dalam mengurai serta memahami pesan moral yang dibawanya. Banyak karya kesarjanaan tentang al-Qur’an, membuktikan bahwa komunikasi Tuhan dengan manusia bisa dianalisis dengan metode scientifik, baik konvensional maupun kontemporer.
Pembicaraan mengenai ‘kata wahyu’ untuk sementara dalam penulisan ini, akan disebut dengan istilah yang lebih umum. Hal ini dilakukan sebelum ditemukan pengertian yang pasti tentang bagaimana posisi wahyu Tuhan dalam hubungannnya dengan makhluk-Nya.
Proses penyampaian pesan Tuhan (sementara wahyu dimaknai sebagai “pesan”) kepada Muhammad –secara linguistik- berjalan melalui dua arah. Pertama, Tuhan sebagai pihak yang aktif yang menyampaikannya, kedua, Muhammad sebagai pihak penerima pertama. Jika dilihat melalui sisi semantik, proses turunnya pesan tersebut akan menimbulkan permasalahan. Permasalahan terjadi karena antara keduanya berada dalam taraf ekisistensi yang berbeda. Yakni antara yang supra-nantural dengan yang natural. Oleh karena itu, pada gilirannya problem eksistensi keduanya akan berakibat pada sistem bahasa yang digunakannya. Tuhan sebagai yang gaib (supra-natural) akan menggunakan sistem bahasa yang non-ilmiah dan sebaliknya Muhammad sebagai makhluk natural akan menggunakan sistem bahasa ilmiah.
Sekalipun demikian, masalah tesebut akan bisa teratasi dengan disamakannya eksistensi antara keduanya. Yaitu peleburan dan penyamaan eksistensi. Proses penyamaan ini mengambil dua bentuk; pertama, peleburan Muhammad ke dalam dimensi dunia kemalaikatan (non-natural), sehingga Muhammad mampu memahami dan berkomunikasi dengan sistem bahasa komunikasi Tuhan.
Kedua, Tuhan masuk ke dalam dimensi dunia kemanusiaan (alam natural), sehingga Tuhan melakukan komunikasi dengan sistem bahasa manusia. Pada satu titik tersebut, antara Tuhan dan makhluk-Nya bisa melakukan komunikasi dengan sistem komunikasi mereka yang keduanya saling bisa paham dan memahami.
Sebagai pemilik pesan, Tuhan melakukan komunikasi dengan Muhammad yang tentunya menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh diri-Nya dengan Muhammad yang menjadi kawan komunikasi-Nya. Bentuk komunikasi seperti ini –dalam kategori Saussureian- merupakan sistem bahasa yang tidak melibatkan peran masyarakat banyak dan biasanya hal seperti ini menggunakan bentuk parole, yakni berupa pilihan bebas dan merupakan hak personal antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Terlepas dari perbedaan yang ada tentang hal ini, komunikasi wahyu menggunakan media dapat dipahami keduanya, baik berupa bahasa verbal maupun sistem isyarat.
Kalau pada tahap komuniksi Tuhan dengan Muhammad merupakan transisi peralihan dari parole Tuhan kepada language atau dari bahasa tutur ke sistem bahasa tulisan, maka komunikasi antara Muhammad dengan konteks masyarakat Arab –dalam arti peralihan sistem bahasa ke masyarakat- merupakan hal niscaya yang di dalamnya membutuhkan akan unsur-unsur linguistik. Oleh karenanya, wahyu dengan penjelasan seperti ini, merupakan wujud komunikasi antara Tuhan dan hambaNya, dan wahyu –sekali lagi- menjadi tempat komunikasi.
Pesan Tuhan (wahyu) yang dalam sejarahnya harus sampai ke tangan manusia, sangat membutuhkan apa yang disebut sebagai bahasa. Bahasa, satu sisi, sebagai alat teknis untuk mengungkapkan sesuatu, di sisi lain, ia merupakan wadah penyampaian. Akan tetapi dalam sejarahnya, pesan Tuhan yang telah didokumentasikan di dalam tulisan tersebut, menjadi sangat rancu dan mengakibatkan munculnya polemik dan berdebatan atas otentik dan tidak otentik dari berbagai redaksi kitab suci. Hal ini disebabkan karena adanya campur tangan dengan berbagai penghapusan dan penambahan yang terjadi pada pesan Tuhan tatkala proses penulisan dan pra-penulisan. Hal ini -sebagaimana dikatakan oleh Hanafi- diperlukan apa yang kemudian disebut sebagai kritik historis. Karena otentisitas redaksi kitab suci hanya bisa dibuktikan melalui kritik sejarah. Otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah oleh sejarahwan, setelah sebelumnya jaminan keaslian teks dalam sejarah dilakukan oleh para orator, melalui metode pengalihan teks secara lisan maupun tulisan.
B. Keotentikan Wahyu Tuhan:
Sebuah Konstruksi Kritik Sejarah Menurut Hassan Hanafi.
Semua agama yang mempunyai kitab suci, tidak bisa dilepaskan dari diskusi mengenai teks kitab sucinya. Menentukan keotentikan kitab suci (wahyu yang terdokumentasi) yang di dalamnya penuh ajaran moral, sumber hukum dan nilai-nilai kemanusiaan, merupakan tindakan yang oleh Hanafi dinilai sebagai rangkaian tindakan penafsiran yang aksiomatik pertama sebelum melakukan tindakan aksiomatik berikutnya. Oleh karena itu, tindakan menentukan keaslian (keotentikan) kitab suci merupakan bagian dari kehati-hatian dan kewaspadaan. Hal ini disebabkan karena menyangkut akan kelangsungan generasi umat di dalam melangkah di muka bumi dengan tuntunan kitab suci.
Pembahasan mengenai kritik sejarah atas keotentikan sebuah wahyu Tuhan, merupakan hal yang niscaya. Hal ini sebagaimana dikatakan Hanafi, bahwa otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini haruslah terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, dan spiritual.
Dalam pembahasan mengenai keaslian sebuah kitab suci ini, Hanafi berasumsi bahwa ketidakaslian kitab suci yang ada, adalah terjadi pada Injil, Taurat, Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru. Bagi Hanafi, al-Qur’an sebetulnya telah membuat sebuah proposisi kritis yang diakui oleh semua kritikus Kristen, baik Katolik maupun Protestas, konservatif maupun liberal, yang moderat maupun yang radikal, yakni bahwa kitab-kitab suci terdahulu bukan merupakan firman Tuhan yang asli.
Bagi Hanafi, kitab suci bisa dikatakan otentik jika: pertama, kata-kata yang diucapkan Nabi yang didiktekan Tuhan melalui malaikat, (seketika) disalin pada saat pengucapannya kemudian disimpan dalam tulisan sampai sekarang. Wahyu yang seperti itu –bagi Hanafi- merupakan wahyu in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Wahyu –untuk perjalanannya kemudian- diharapkan tidak melewati masa pengalihan secara lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Kedua, pada pengalihan melalui tulisan, wahyu tersebut harus berisi kata-kata yang secara harfiyah sama dengan yang diucapkan Nabi. Proses pengalihan dari lisan ke tulisan haruslah sesuai dengan aturan-aturan pengalihan lisan. Ketiga, teks–teksnya harus diketahui dan identik, ditulis dengan bahasa yang sama dari penutur aslinya, dan yang ke empat, naratornya haruslah orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat diturunkannya kejadian-kejadian dalam teks serta harus benar-benar bersikap netral dalam penceritaannya.
Menurut Hanafi, Wahyu akan bisa menjadi in verbatim, jika tidak mengalami pengalihan lisan. Hal ini ditegaskannya, karena jika terjadi pengalihan lisan, akan ada kemungkinan banyak kata-kata yang hilang sekalipun makna atau maksudnya dipertahankan. Adanya pengalihan lisan juga dikuatirkan akan terjadi campur tangan dari pihak Nabi, penyalinnya, maupun para imajinasi massanya.
Prasyarat lain bagi kesempurnaan teks dalam sejarah adalah keutuhan. Artinya, wahyu disimpan dalam bentuk tertulis (dan dituntut) tanpa mengalami pengurangan (dan penambahan) apa pun dalam sejarah.
Bagi Hanafi, tak satupun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak Taurat yang memenuhi persyaratan seperti di atas kecuali al-Qur’an. Begitu juga, bagi Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, keduanya tidak memenuhi syarat-syarat keaslian seperti di atas. Hal ini terbukti, dengan adanya Kitab Perjanjian Lama yang dalam sejarahnya mengalami sebuah perjalanan yang senantiasa melewati berbad-abad cara pengalihan lisan.
Tidak hanya Kitab Perjajanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru pun mengalami hal yang sama. Kitab ini melewati sampai satu abad di dalam pengalihan lisan. Artinya, adanya pengalihan lisan yang dianggap menjadi penyebab dari salah satu terjadinya ketidak aslian, terjadi pada kitab-kitab suci dan bahkan (dalam pengalihannya) ada yang melewati satu abad atau bahkan mungkin ada yang berabad-abad.
Hal ini sebenarnya merupakan bukti bahwa kitab-kitab suci yang sudah terbiasa dalam kesehariannya sering dijadikan sebagai tempat untuk merujuk dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, sebagai pijakan hukum dan sumber petunjuk umat, ternyata terdapat dan ditemukan ketidakaslian. Hal ini sangat mengejutkan, di karenakan kitab suci yang sudah berumur beberapa abad yang lalu ternyata tidak otentik (menurut kriteria Hassan Hanafi). Hanya al-Qur’an-lah yang memenuhi berbagai syarat seperti halnya ditulisnya pada saat diturunkannya.
Dalam hal ini Hanafi memberikan contoh sekaligus melontarkan kritik atas contoh-contoh tersebut. Contoh tersebut adalah, bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama direkam dalam bahasa Ibrani, kecuali beberapa ayat dalam bahasa Aramaia dan Chaldea. Menjadi bermasalah, jika dilihat dalam sejarah, bahwa Kitab Perjanjian Baru menggunakan bahasa Yunani atau Latin, akan tetapi Yesus sendiri tidak pernah mengenal bahasa Yunani atau bahkan bahasa Latin. Sumber-sumber di belakang kitab-kitab ini pun –sebagaimana analisa Hanafi- mengandung ketidakjelasan. Sebagaimana contohnya yang diungkap oleh Hanafi bahwa cuplikan lagu-lagu lokal dan kesukuan seperti kidung Lamech, lagu tentang tempat Moab, lagu atau kidung Heshbon dan Sihon, lagu-lagu tentang kutukan dan rahmat terhadap Nuh, Melchizedek, Rebekah, Yakob, Esan, Yusuf, semua kidung-kidung tersebut, diyakini tidak jelas dari mana sumber-sumbernya.
Hal yang sama juga terjadi pada sumber-sumber tertulis di belakang kitab-kitab sejarah. Sumber-sumber tertulisnya tidak diketahui secara kritis. Hal yang sama juga terjadi pada penulis-penulisnya, bahasanya, jumlahnya, bahkan sampai pengalihannya dari tangan ke-tangan, kesemuannya tidak diketahui dengan jelas.
Hanafi menegaskan bahwa adanya kesatuan isi atau pengertian kitab suci, menandakan kesatuan sumbernya. Kesatuan kitab suci menjadi kuat jika semua kitab yang ada dalam kitab suci didiktekan oleh Nabi yang menerima pesan Tuhan melalui malaikat secara langsung (immediately).
Selanjutnya, dalam kitab Perjanjian Lama, sebagaimana diungkap Hanafi, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah kata-kata yang diucapkan para nabi merupakan wahyu in verbatim yang diucapkan para Tuhan kepada sang nabi melalui Roh Kudus, ataukah merupakan kata-kata sang nabi sendiri yang mengungkapkan wahyu Tuhan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan. Dalam kitab-kitab ini, tidak diketahui apakah yang diucapkan oleh Yesus merupakan wahyu yang benar-benar disampaikan Tuhan kepadanya untuk memperbaiki atau menjelaskan wahyu terdahulu yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, ataukah ucapan Yesus tersebut merupakan ucapannya sendiri.
Selanjutnya kritik Hanafi atas sejarah orang yang hidup se-zaman dengan al-Kitab. Yakni bahwa teks harus dilaporkan in verbatim oleh beberapa orang yang hidup pada zaman yang sama dengan kejadian yang dilaporkan. Kesamaan maksud yang terungkap dari beberapa orang yang melaporkan satu laporan yang identik, merupakan bukti keaslian. Begitu juga pengalihan-pengalihan yang ada. Mengenai pengalihan ini, paling tidak –kata Hanafi- harus memenuhi empat persyaratan sebagai berikut;
1. Orang-orang yang melaporkan (yang mendapatkan titah wahyu atau titah untuk menuliskannya) tidak boleh saling ketergantungan satu sama lain. Hal ini diharapkan untuk menghindarkan segala kemungkinan terdapatnya keinginan untuk merendahkan diri. Dikatakan oleh Hanafi bahwa dalam Kitab Injil, terdapat adanya saling ketergantungan dari orang-orang yang menyampaikannya. Hal ini terbukti tentang dua sumber, yakni Logia dan Marc, yang hal ini menguatkan adanya ketergantungan Kitab-Kitab Injil satu sama lain.
2. Jumlah yang cukup dari orang-orang yang melaporkan akan memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu laporan. Dalam beberapa laporan kepastian tidak tercapai jumlah, bila jumlah orang melaporkan kurang banyak. Makin banyak yang melaporkan, makin besar kepastian yang diperoleh.
3. Tingkat penyebaran laporan harus bersifat homogen pada setiap waktu. Penyebaran laporan sejak generasi pertama sampai generasi tradisi tulisan, misalkan generasi ke-empat, harus seragam pada generasi ke-empat tersebut. Artinya, penyebarluasan sebuah kisah yang ada dalam kitab suci yang tiba-tiba muncul dalam satu generasi, menandakan adanya intervensi keinginan manusia dalam penemuan laporan baru. Kasus Kitab Injil ke-empat –misalnya kata Hanafi- merupakan contoh kasus yang jelas. Yaitu adanya lebih banyak hal yang diketahui pada abad pertama dari pada apa yang diketahui pada generasi pertama.
4. Isi laporan harus sesuai (tepat) dengan pengalaman manusia dan kesaksian inderawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang luar biasa, supranatural, ataupun ajaib. Semua kisah tentang keajaiban, ke-supranaturalan harus dihilangkan. Menghilangkan keajaiban ini bukanlah karena keajaiban adalah tidak ada, melainkan karena keajaiban menurut Hanafi tidak cocok dengan panca indera. Keajaiban adalah suatu peristiwa alamiah yang penyebabnya tidak diperhatikan. Artinya, begitu penyebab keajaiban diketahui, maka hilanglah keajaiban tersebut.
Pengalihan multilateral yang memenuhi ke-empat persyaratan ini menurut Hanafi bisa membuktikan akan keotentikan pesan Tuhan. Pengalihan ini mencerminkan derajat ketepatan sejarah yang paling tinggi. Jika ke-empat dari pengalihan seperti yang di atas tidak dipenuhi secara teoritis wahyu akan menjadi bersifat dugaan.
Sebuah laporan harus dibuat secara tekstual, tanpa ada pengurangan ataupun penambahan. Hubungan yang ada antara kata dan maknanya, adalah hubungan yang mutlak. Makna hanya bisa diungkapkan ketika dengan kata yang sama. Artinya, jika digunakan kata yang lain, maka bisa diasumsikan akan terdapat makna bayangan yang tidak pernah sama dengan makna yang sebenarnya. Pengurangan atau penambahan pada sebuah teks misalnya -sekalipun pengurangan atau penambahannya tidak esensial- (pada akhirnya) akan berdampak menjadikan suatu lapisan makna yang sebenarnya tidak dimiliki oleh makna yang sesungguhnya dari redaksi teks.
Analisis penemuan ketidakaslian selanjutnya, adalah bahwa dalam Kitab-kitab Injil, kata-kata yang diucapkan Yesus disampaikan berdasarkan makna dengan kata-kata yang berbeda. Hal ini sesungguhnya telah membuktikan bahwa kitab-kitab suci tersebut telah diselewengkan.
Mengenai problem keaslian kitab suci, yakni bahwa hanya kata-kata yang langsung diucapkan Nabi pada waktu Tuhan menyampaikan wahyu –itulah- yang harus dipertahankan. Kata-kata yang diucapkan oleh para Nabi adalah satu-satunya bagian kalimat langsung yang harus dipertahankan. Sebaliknya, bagian kisah yang berupa kalimat yang tidak langsung, bukanlah bagian dari riwayat pesan Tuhan. Dan sebaliknya, kata-kata yang diucapkan sahabat, kata yang diucapkan masa, atau siapa pun yang terlibat dalam dialog dengan Dzat yang tidak bisa dilihat (alam supranatural, alam non-ilmiah), tidaklah termasuk bagian dari pesan Tuhan yang harus dipertahankan.
Akan tetapi dalam sejarah, perkataan para sahabat di sejarah kitab-kitab suci kecuali al-Qur’an, sangat bisa ditemui. Hal ini semisal; dalam Kitab Perjanjian Baru, yang disinyalir Hanafi bahwa kisah para rasul yang ditulis oleh Lukas dan Wahyu yang ditulis oleh Yohannes. Penulisan yang dilakukan tersebut, sudah sangat jelas merupakan bagian dari tradisi. Karena itu menurut pengamatan Hanafi, bahwa surat-surat Katolik, misalnya, dan juga perkataan orang-orang yang hidup setelah zaman Nabi, adalah bukan merupakan bagian dari kitab suci, akan tetapi merupakan tradisi.
Jika demikian, empat belas surat Paulus yang ada –selama ini- adalah bagian dari tradisi dan bukan merupakan kitab suci.
Begitu juga kata-kata yang diucapkan Nabi ketika masih kecil atau setelah wafat, juga harus dikesampingkan. Hal ini disebabkan karena seorang anak belum mencapai usia berpikir, sedangkan berbicara setelah mati merupakan hal yang tidak wajar karena bertentangan dengan kebiasaan dan bertentangan dengan jalannya kejadian pada umumnya.
Bagi Hanafi, seorang yang melaporkan kisah dituntut memiliki kesadaran netral. Artinya, bahwa orang tersebut dilarang mencampuri (intervensi) kisah yang dilaporkannya dengan kata-katanya pribadi, bayangan, perasaan, kepentingan, atau dengan penafsirannya sendiri. Oleh sebab itu, kata Hanafi, bahwa perbuatan mengisahkan harus berlangsung dalam tiga langkah, yaitu;
Pertama, mendengar, kedua, menyimpan dalam ingatan, dan yang ketiga, melaporkan. Sebuah laporan kisah dikatakan otentik jika ketiga langkah tersebut identik. Yaitu mendengar sejalan dengan menyimpan dalam ingatan, dan menyimpan sejalan dengan pelaporannya.
Selanjutnya –masih berhubungan dengan syarat keotentikan- bahwa Hanafi di dalam usaha memetakkan kitab suci yang asli, ia memberikan statemen yang sangat unik, yakni bahwa orang yang melaporkan kisah dengan menggebu-gebu, sebenarnya tidak mampu melaporkan sebuah kisah yang nyata. Hal ini disebabkan oleh karena perasaan yang menggebu-gebu berarti -menurut Hanafi- tidak memiliki sebuah keseimbangan perasaan (emosi yang tidak stabil). Seseorang yang meriwayatkan (perawi) harus berpikir logis, mempunyai emosi yang stabil dan kejujuran yang tinggi.
Dalam meriwayatkan, seorang perawi tidak bisa berinterfensi baik dalam ide, keinginan, emosi, pandangan maupun tujuan. Mengenai hal ini Hanafi mengatakan bahwa; “A passionate narrator is unable to the raport because of the loss of the sentimental equilibrium”……“The reporter must have a rational conscience, an equilibrium in feeling, and extreme honesty based on piety”.
Hal tersebut dikatakan Hanafi, disebabkan oleh karena dalam Kitab Injil dalam setiap narratornya telah mengganggu keaslian wahyu dengan memasukkan gagasan, rencana, perasaan, bayangan dan cita-citanya dengan begitu menggebu-gebu.
Hanafi mencontohkan bahwa dalam sejarah, Markus dengan gagasan dan rencananya ingin membuktikan Yesus sebagai Ebionite, sedangkan Mathius berkeinginan menjadikan sifat Yesus sebagai juru selamat dan sekaligus rohaniawan Kristen.
Dengan demikian, adanya keinginan, baik yang datang dari hawa nafsu, perasaan maupun pikiran, dapat menjadikan kitab suci yang ditulis, mengalami cacat total.
Akhirnya, keraguan al-Qur’an –dalam sejarah- tentang keaslian kitab-kitab suci tersebut, dapat dimengerti. Hal ini diyakini karena wahyu dalam kitab-kitab tersebut tidak dipertahankan in verbatim. Jika demikian, maka kemungkinan terjadinya kesalahan, sangatlah besar. Sebagaimana contoh adanya pengubahan, pengurangan, penambahan, penghapusan, penyisipan, dan kekhilafan yang terjadi pada beberapa kitab suci sebelum al-Qur’an. Sebab itulah, tuduhan-tuduhan al-Qur’an terhadap adanya ketidakaslian yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya, bisa dipercaya. Tuduhan-tuduhan yang pernah dilontarkan al-Qur’an terhadap kitab-kitab suci sebelumnya adalah sebagai berikut;
Pertama, dalam beberapa teks-teks kitab suci tersebut ada beberapa kata yang dipindahkan dari tempat aslinya dengan cara menggunakan ejaan yang salah untuk menyiratkan suatu arti yang lain. Kedua, teks-teks lain telah diubah dengan upaya menggantikannya dengan teks-teks yang lebih lunak terhadap otoritas politik dan agama. Teks-teks yang asli diubah, dikacaukan, atau bahkan diselubungi dengan teks-teks lain.
Ketiga, ada pula teks-teks yang ditutup-tutupi dan disembunyikan. Teks-teks itu benar-benar dikesampingkan, baik karena ketiadaan semangat pengalihan, ataupun dimaksudkan untuk menjaga status quo teokrasi yang ada. Bahkan perjanjian yang ada dalam kitab-kitab tersebut diakhiri untuk menyatakan wahyu Tuhan secara terbuka, dan bukan untuk menyembunyikannya. Begitu juga Kitab Injil, dikatakan Hanafi, telah memuat sebuah kisah mengenai keterangan Kitab Taurat yang disembunyikan, kemudian pada akhirnya ditemukan oleh seorang pendeta.
Selanjutnya mengenai kritik al-Qur’an terhadap kitab-kitab yang lain (yang ke empatnya), adalah bahwa teks-teks tersebut -mutlak- merupakan hasil pikiran kreatif dari para penutur kisah atau penulis kisah, atau sengaja dibuat atas kerja sama antara penguasa agama dan penguasa politik, antara para rabbi dan raja-raja. Beberapa hukum dibuat oleh para pendeta untuk dikenakan pada masyarakat bukan berdasarkan kesalehan dan ketaatan, tapi berdasarkan kemunafikan, bahkan sebelum Tuhan memerintahkannya.
Tuduhan yang dilontarkan al-Qur’an ini –kata Hanafi- merupakan hal yang bisa dikatakan benar dalam kategori kritik sejarah. Oleh karena itu, dengan adanya penciptaan-penciptaan atas teks-teks kitab suci tersebut, al-Qur’an menyebutnya sebagai dusta. Hal ini telah disebutkannya dalam QS. Al-Baqoroh: 79. Sebagaimana firman Allah:
فويل للذين يكتبون الكتب بأيديهم ثم يقولون هذا من عندالله ليشتروا به ثمنا قليلا فويل لهم مما كتبت أيديهم وويل لهم مما يكسبون. (البقره: 79)
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan” (QS.Al-Baqarah: 79.)
Kritik al-Qur’an terhadap kitab suci agama seperti di atas –sebagaimana diungkap Hanafi- adalah merupakan sebuah hal yang sudah biasa. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an telah memberikan ketegasan kritiknya dengan menunjukkan kebenaran sejarah atas ketidakaslian kitab Bibel. Hal ini sebagaimana dikatakan Hanafi bahwa : “….in Islam, the critique of relegion is very common, the kur’an began such criticism by showing the inauthenticity of Bibical scriptures, the deformation of Jewish and Cristian dogma, and the alination of religious practice…”
Selanjutnya, mengenai keaslian kitab Taurat, para sarjaan Muslim klasik (sebagaimana di terangkan Hanafi) telah mengemukakan anggapan bahwa kitab Taurat yang asli telah dihancurkan pada masa penghancuran pertama terhadap kuil dan tidak pernah dipulihkan kembali.
Oleh karena itu, apa yang dilontarkan Hanafi bahwa ada beberapa redaksi kitab suci yang tidak asli, ternyata pada akhirnya ditemukan. Thus, dengan menggunakan kritik historis yang ada dalam hermeneutika Hassan Hanafi sebagaimana yang telah diusung oleh Hanafi di atas, telah berfungsi untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan kepada nabi sebagai perantara kitab suci dalam sejarah. Oleh sebab itu, ditegaskan oleh Hanafi bahwa keaslian wahyu dalam sejarah, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Namun, hal ini sudah terjadi pada kitab-kitab suci selain al-Qur’an.
Sebaliknya, menurut Hanafi, bahwa kata-kata al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad dan didiktekan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula didiktekan oleh Nabi kepada para penyalin pada saat pengucapannya, dan lestari sampai saat dituliskannya redaksi teksnya. Wahyu yang semacam ini tidak melalui tahap pengalihan lisan, akan tetapi ditulis pada saat pengucapannya. Hanya al-Qur’an-lah –bagi hermeneutika Hanafi- yang memenuhi prasyarat-prasyarat tersebut.
Kitab-kitab suci yang ada, lain kasusnya dengan al-Qur’an, al-Qur’an merupakan wahyu yang ditulis in verbatim yang secara harfiyah dan kebahasaan sama dengan yang diucapkan Nabi.
Oleh karenanya, sejalan dengan pemikiran hermeneutika Hanafi, bahwa ia mengharapkan teori hermeneutikanya dapat bersifat “teoritik” sekaligus “praktis.” Artinya, dengan diketahuinya keotentikan wahyu Tuhan, -untuk berikutnya- langkah memahami wahyu Tuhan (baru) bisa berjalan. Hal ini karena prasyarat pemahaman yang tepat akan pesan Tuhan yang terdokumentasi dalam tulisan, adalah dengan terlebih dahulu membuktikan keasliannya melalui kritik historis. Sebab jika tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan menjerumuskan orang pada kesalahan.
• Beberapa Catatan atas Gagasan Otentisitas Wahyu Tuhan
Hassan Hanafi
Gagasan Hanafi atas konsep hermeneutika yang dijadikannya sebagai pijakan kritik terhadap keaslian redaksi kitab suci adalah disebabkan karena Hanafi mengharapkan adanya konsep penafsirannya yang bersifat –salah satunya- objektif. Untuk hal tersebut, ia sangat menuntut adanya keaslian dari redaksi kitab suci sebelum diadakannya langkah-langkah penafsiran. Menggunakan kritik sejarah, oleh karenanya, –dalam melakukan tindakan penafsiran-, dipandang olehnya sebagai langkah urgen yang harus diletakkan di posisi awal sebelum melangkah pada wilayah penafsiran (kritik eidetik). Dengan menggunakan kritik historis, otentisitas redaksi kitab suci –sebagaimana diyakini Hanafi- akan terlihat dan menjadi jelas. Hal ini karena muatan yang ada dalam kritik historis adalah muatan-muatan yang berkepentingan membongkar keaslian dan berupaya mencocokan dari asal sumber aslinya teks
Namun, uraian teoritik Hanafi di dalam memberikan penilaian yang berpijak pada kritik historis, terlihat berat sebelah atau sangat kurang objektif. Hal ini bisa terasa di beberapa uraiannya yang jarang -bahkan tidak pernah- menyinggung sama sekali mengenai keotentikan al-Qur’an yang juga menjadi polemik perdebatan di kalangan orang Islam maupun non Islam. Kalaupun menyinggung mengenai al-Qur’an di tengah-tengah tulisannya, Hanafi senantiasa hanya memberi nilai plus akan keotentikan pesan Tuhan yang ada dalam kitab suci al-Qur’an.
Hanafi di beberapa uraiannya terlihat sangat larut akan keyakinannya –sebagaimana keyakinan kebanyakan muslim lainnya- bahwa teks dan bacaan dalam mushaf al-Qur’an dewasa ini diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad yang selanjutnya dikodifikasi Zaid bin Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Usman bin Affan. Artinya, Hanafi menyakini bahwa pernyataan al-Qur’an dalam QS 15:9 merupakan bentuk statemen garansi Ilahi atas kemurnian wahyu al-Qur’an dari berbagai perubahan dan penyimpangan. Tulisan Hanafi yang terlihat sering menggunakan bahasa bombamtis tersebut terasa telah melupakan akan sejarah pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an yang dewasa ini diasumsikan oleh berbagai kalangan cukup masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya.
Ungkapan Hanafi bahwa wahyu Tuhan dikatakan otentik jika wahyu tersebut terhindar dari penghapusan dan penambahan sebagaimana yang terjadi pada kasus Injil, Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah terlihat kurang universal dan kurang objektif. Mengapa dalam penjelasannya, Hanafi tidak menyinggung atau sedikit mengelaborasi mengenai doktrin na>sikh mansu>kh yang pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang sangat mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam.
Namun, terlepas bahwa Hanafi bukan merupakan sarjana yang fokus akan kajian sejarah al-Qur’an seluruhnya sebagaimana sarjana-sarjana Barat yang ‘menekuni’ al-Qur’an semisal Silvester de Sacy, Gustav Weil, H. Hirschfeld, O. Loth, Wansbrough atau bahkan semisal sarjana Prancis Paul Casanova yang telah juga banyak menemukan adanya ketidakotentikan dalam kitab suci al-Qur’an, setidaknya kajian Hanafi mengenai keotentikan kitab suci dijadikan (sebagiannya) sebagai counter wacana terhadap pemikiran-pemikiran Barat khususnya dan internal Islam pada umumnya atas keraguan yang ada pada kitab suci al-Qur’an juga sekaligus dengan membuktikan posisi dan letak dimana dan mengapa sebagian redaksi kitab suci al-Qur’an diragukan yang tentu saja dengan historical criticism, atau al-Naqdu al-Ta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar