Cari Blog Ini

Rabu, 07 Desember 2011

Otentisitas Wahyu Tuhan Dalam Hermeneutika Hasan Hanafi: Kritik Historis, Kritik Eidetik, Kritik Praksis

BAB I
PENDAHULUAN
Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahamiAl-Quran.
Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, dan lainnya– kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Kaum Muslimin Indonesia kini digerojok dengan ratusan –mungkin ribuan– buku, makalah, dan artikel tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak, kritisi!) tafsir lama. Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahami Al-Quran.
Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan, seperti halnya dalam pemikirannya dalam hermeneutic aksiomatik
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing.1 Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas. Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Perancis inilah ia dilatih untuk ber¬pikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah mau¬pun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim¬bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem¬ple, Amerika Serikat. Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasiona, baik di kawasan Negara Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat islam di berbagai Negara. Hanafi berkali kali mengunjungi Negara Negara asing seperti belanda, swedia, Portugal,spanyol, prancis,jepang India Indonesia, sudan, dan saudi Arabia antara tahun 1980-1987.

B. KARYA KARYA
Karya karya hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga priode, yaitu : Priode pertama berlangsung pada tahun 60-an; periode kedua pada tahun 70-an, dan periode ketiga dari tahun 80-an sampai dengan 90-an. Analisis tentang perkembangan pemikiran Hanafi akan di dasarkan perkembangan perpriode dari karya karya tersebut. Masing masing priode terdapat perkembangan pemikiran hanafi dan dinamika politik di Mesir mempunyai pengaruh besar pada pemikirannya. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang ber¬kembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik po¬pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo¬rer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat islam dalam kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un¬tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian uta¬manya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri¬ode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise¬suaikan dengari realitas kontemporer. Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas. Buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.

Pemikiran Hanafi terhadap hermeneutika
Pandangan mendasar hermeneutika Hanafi melihat bahwa teks Al¬quran adalah maha teks yang ke¬sa¬kralan revelasi dan otentisitas me¬tahistorisnya terjamin total se¬ratus persen. Barulah dalam apli¬kasi historisnya, teks Alquran ''mem¬butuhkan'' suatu ke¬ter¬libatan eksistensial manusiawi, yang hal itu adalah tindakan-tindakan pe¬nafsiran yang relevan dengan ka¬rakter sosio-kultural masyarakat yang melingkupinya.
Prinsip itulah yang Hanafi pegang dengan konsisten sejak dulu sampai sekarang. Dengan prinsip itu pula, hermeneutika Hanafi menjadi epistemologi yang paling jernih dalam melihat dan memetakan problematika penafsiran Alquran secara global.
Berbeda dengan pakar hermeneuti¬ka lain, misalnya Nasr Hamid Abu Zayd, yang memandang bahwa se¬bagai sebuah teks, Alquran pada dasarnya adalah produk budaya.2 Zayd seolah menghilangkan kemurnian transendental da¬lam proses pewahyuan Alquran dan melihat bahwa dimensi her¬me¬neu¬tik teks Alquran berlaku secara vertikal, bahwa Nabi Muhammad ada¬lah penafsir aktif terhadap Tuhan sebagai pemberi wahyu. Setelah dimakmumi selama puluhan tahun, hermeneutika yang penuh bias relativitas berlebihan itu kemudian oleh Zayd direvisi sendiri di hadapan khalayak pada acara International Ins¬titute for Quranic Studies, Juni 2008. Dia akhirnya menyatakan per¬sis seperti teori Hanafi bahwa her¬meneutika Alquran bersifat ho¬rizontal (nabi dengan umat) dan tidak mungkin berlaku secara vertikal antara nabi dan Tuhan.
Hermeneutik Aksiomatik; langkah pasti dalam menafsir ala Hanafi Terdapat kemungkinan bahwa hermeneutika Hanafi dipengaruhi oleh filosofinya Hans Georg Gadamer mengenai bagimana mengubah suatu makna secara subyektif menjadi obyektif berdasarkan realitas yang diungkapkan oleh subyektifitas interpretator itu sendiri. Hal ini sangat masuk akal karena hanafi pernah hidup di barat dalam kurun waktu yang cukup lama.
Menurut Hanafi, Hermeneuitika mempunyai dua definisi. Pertama, adalah ilmu interprtasi, yakni siatu teori pemahamn. Kedua, ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak dari perkataan sampai kedunia realitas.
Beliau sendiri menyebut hermeneutic sebagai langkah hermeneutic Aksiomatik . menurutnya hermeneutic merupakan wujud deskripsi proses penafsiran sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal obyektif, dan universal. Hanafi dalam hermeneutiknya tidak membatasi perbincangannya mengenai model dan varian pemahaman tertentu atas teks semata, namaun hermenetiknya berkaitan erat dengan upaya penyelidukan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya sampai penerapan hasail penafsiran dalam kehidupan manusia.3 Dengan hermenetik aksiomatik Hanafi bertujuan mengedepankan visi Islam dalam mencermati otentitas Injil dan taurat. Namun, lebih dari itu ia bermaksud menegaskan ketakterbantahkannya otentitas al-Quran dilihat dari segi historical criticism
Dengan menggunakan kontruksi langkah hermenetik, Hanafi mengklaim bahwa hermenetiknya akan menjadi aksioma (langkah tepat). Yakni dengan menggunakan langkah-langkah kritik histories, kritik eidetik, dan kritik praktis.
Dengan menggunakan kritik historis, otentisitas redaksi kitab suci akan terkuak. Hal ini karena muatan yang ada dalam kritik histories adalah muatan-muatan yang berkepentingan menguak keaslian dan berupaya mencocokan dengan asal sumber aslinya teks. Sedangkan dengan kritik eidetik diharapkan akan dicapainya hasil penafsiran pesan Tuhan yang genuine dengan menggunakan berbagi langkah semisal dengan kegiatan analisis bahasa, analisis konteks sejarah, dan generalisasi4. Adapun setelah menggunkan langkah kritik histories dan kritik eidetic, bangunan dasar hermeneutika sebagi aksiomatik berikutnya adalah dengan langkah kritik praktis.
Proses penafsiran dengan menggunakan langkah dan metode seperti di atas dklaim oleh Hanafi sebagai langkah yang bisa memposisikan hermenetik sebagai kajian yang aksiomatik. Yakni sebuah disiplin teori penafsiran yang bisa menjadikannya sebagai disiplin penafsiran yang jitu dan pas serta tepat.
Apa yang dikatakan Hanafi, mengasumsikan bahwa hermeneutika aksiomatik tidak dibatasi perbincangan mengenai model dan varian tertentu mengenai teks semata.5 Namun lebih jauh lagi, hermenetiknya berkaitan dengan sejarah teks untuk menjamin otentikan sebuah kitab suci hingga penerapan hasilpenafsiran dalam kehidupan manusia. Hal ini karna menurut hanafi bahwa syarat memahmi yang tepat terhadap sebuah pesan Tuhan yang terdokumentasi adlah dengan terlebih dahulu membuktikan keaslian kitab suci tersebut melalui kritik sejarah. Karna jika tdak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan menjerumuskan warga umat dunia kepada kesalahan, sekalipun misalnya penafsirannya sangat sesuai dengan kandungan teks palsu tersebut.

BAB III
KESIMPULAN
Terhadap hermeneutika metodis, Hassan Hanafi menginginkan hermeneutika aksiomatik yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif, dan universal. Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter (hermeneunt) yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa,6 tidak boleh ada yang lain, selain analisa linguistiknya,” sebuah pendirian yang mirip dengan analisa struktur internal menurut Abû Zayd.
Di lain pihak, hermeneutika Aksiometik Al-Quran tersebut sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika Al-Quran yang besifat filosofis sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Apalagi dalam tulisan-tulisannya yang mutakhir, Hermeneutika selalu bersifat praktis dan menjadi bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Dalam pengertian yang terakhir ini, ia menginginkan hermeneutika aksiometiknya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir di hadapan teks sebelum perisitiwa penafsiran dilakukan. Kecederungan ke arah praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutis Hanafi belakangan yang kemudian membedakannya dari rumusan hermeneutisnya pada tahap awal dan dari kecenderungan banyak hermeneut kontemporer lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar