Cari Blog Ini

Senin, 16 April 2012

Agama Dalam Konflik Masyarakat


A.    PENDAHULUAN
Masyarakat merupakan kemajemukan dari berbagai unsur, baik etnis, budaya dan agama. Keberagaman dan pluralitas di dalamnya begitu kental mewarnai kemajemukan ini. Mulai dari keanekaragaman budayanya yang saling berbeda antara daerah satu dan lainnya, negara satu dengan negara lainnya, etnis yang bermacam-macam dengan tradisi yang berbeda pula, agama yang berbeda, tingkat sosial dan tatanan sosial lainnya.
Dalam keberagaman dan kemajemukan ini, peran agam sangatlah berpengaruh. Agama sebagai realitas pengalaman manusia dapat diamati dalam aktivitas kehidupan keagamaannya sehari-hari, meliputi aspek-aspek kepercayaan, ibadat, pengelompokan umat, dan emosi keagamaan. Dalam hal ini agama mempunyai hubungan vertikal (hubungan terhadap Tuhannya) dan hubungan horizontal (hubungan antara individu dan lingkungan sekitar). Oleh karena itu agama sebagai sistem kepercayaan tentu memerlukan masyarakat sebagai tempat memelihara dan mengembangkan agama.
Pemahaman sikap dan prilaku keagamaan senantiasa berkembang mengikuti pikiran manusia. Sekalipun agama dan kitab suci diyakini berasal dari Tuhan, penafsirannya dilakukan oleh manusia dan pelaksananya berlangsung dalam masyarakat manusia. Jelasnya agama dan masyarakat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Agama sebagai sistem yang mengatur makna dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebgai gejala sosial, sering kali dianggap tidak berperan sama sekali ketika dihadapkan pada konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat entah itu penjarahan, tawuran, pembunuhan, pemerkosaan, konflik antar ras, konflik antar kelompok beragama seperti pembakaran gereja (peristiwa ketapang, Jakarta 1998), pembakaran masjid (Kupang, Januari 1999) dan konflik sosial antar suku berupa pembunuhan di Sambas (Kalimantan Barat, 1999), dan Sampit (Kalimantan Tengah, 2001). Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
1)            Peran agama dalam konflik masyarakat, sebagai akar atau sebagai jalan tengah?
2)            Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat?
Makalah kami ini disusun dalam rangka menjawab dan menjelaskan permasalahan-permasalahan diatas. Karena sangat ironis sekali jika agama dituding berada dibalik semua itu atau tidak punya peran/fungsi.

B.     PEMBAHASAN
Agama Dalam Konflik Masyarakat
Selama satu decade di akhir abad 20, beberapa konflik meledak di banyak wilayah dunia,terutama Indonesia. Menurut pandangan banyak analis politik dan ilmuwan social, era perang dingin dan konflik ideologis telah menghantarkan pada era perang etnik dan konflik kebudayaan. Konflik etnik adalah gambaran yang tak dapat ditolak dalam panorama sosio-politik kontemporer.
Mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lain, ditunjang oleh perkembangan modernitas seperti  : kemudahan transportasi, tekhnologi informasi dan media cetak maupun elektronik, serta program transmigrasi dari pemerintah menimbulkan  pergeseran nilai-nilai budaya antar etnis terasa sebagai “cultural shock”[1], mengingat adanya kesenjangan budaya yang demikian besar antar etnis di Indonesia. Pergeseran dari interaksi nilah yang menimbulkan riak-riak kecil, yang dapat merupakan ancaman budaya dan agama masyarakat, ketika kepentingan lain juga memasuki wilayah itu, misalnya : kepentingan ekonomi dan bahkan kepentingan politik.
Ditinjau dari aspek budaya, adanya perbedaan budaya yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku manusia, temperamen maupun emosi sangat kasat mata bentuknya. Budaya dan tradisi yang sudah turun-temurun mengalami semacam ancaman dengan pergeseran dan datangnya kultur-kultur yang baru. Kesenjangan sosial baik karena faktor ekonomi maupun politik, tingkat pendidikan yang tidak seimbang, heterogen agama dan pemahamannya serta kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya, menimbulkan ketegangan-ketegangan konflik dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai agama dan umat beragama dapat terlibat secara langsung.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia, meskipun sering dibantah atau ditutup-tutupi, sesungguhnya membenarkan bahwa memang ada aspek agama yang menyertai konflik, meskipun konflik itu berawal dari masalah di luar agama.
Melihat kehadiran agama yang merembes di berbagai daerah konflik etnik, bukan berarti bahwa agama sebagai penjelasan terbaik tentang konflik-konflik tersebut. Hanya karena suatu faktor (dalam kasus agama) hadir dalam kasus tertentu, tidak berarti ia dominan atau utama,  faktor-faktor lain bisa jadi lebih dominan. Perbedaan sosio-ekonomi antara kelompok-kelompok etnik itu sendiri dapat memberikan penjelasan yang tepat bagi hampir semua konflik etnik.
Hubungan sebab-akibat antara agama dan konflik etnik adalah persoalan yang cukup problematik. Dalam banyak kasus, agama adalah etnisitas, identitas agama merupakan unsur utama pembentuk identitas etnik[2]. Identitas  agama pada umumnya ditransformasi menjadi identitas etnik dalam waktu yang panjang. Suatu agama sering memulainya sebagai kredo/keyakinan abstrak dengan tampilan dan ruang lingkup universal. Kemudian agama mengkristal menjadi seperangkat ritual dan kebiasaan yang lebih kongkret yang membedakan komunits tertentu dari komunitas lainnya. Kemudian komunitas agama menjadi komunitas etnik. Inilah yang menyebabkan adanya pandangan bahwa agama adalah sebuah budaya, padahal agama adalah wahyu Tuhan yang masuk membenahi budaya-budaya yang ada.
Dalam konflik-konflik masyarakat, agama dikatakan Komarudin Hidayat, datang dengan wajah ganda, sebagai kekuatan konstruktif sekaligus destruktif, sebagai pendorong perdamaian sekaligus kerusuhan.[3] Akan tetapi pada saat konflik terjadi agama kurang begitu berperan dan dipandang sebagai kekuatan destruktif, karena dituding sebagai akar dari gejolak konflik, sedangkan peran konstruktif baru muncul saat setelah konflik berakhir. Disini agama berperan sebagai pendamai melalui berbagai dialog antar umat beragama, peran tokoh-tokoh agama dan lembaga-lembaga keagamaan.
Sedangkan dalam buku Agama dan Keberagamaan[4], berpendapat bahwa, konflik masyarakat ini masalahnya bukan karena agama datang dengan menimbulkan konflik/sebagai akar masalah, dan tampil tanpa moral dan nilai-nilai kesusilaan, tetapi karena para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan ekslusif dalam artian bahwa subjektivitas kebenaran yang diyakininya sering kali menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain, padahal hakekatnya esensi semua agama adalah mengajak pada kebenaran yang mutlak yaitu tuhan YME.
Masyarakat adalah gabungan dan kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kesepakatan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu:
1.                  Masyarakat homogen
2.                  Masyarakat majemuk
3.                  Masyarakat heterogen
Masyarakat homogen ditandai oleh adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang dinginkan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam bentuk satuan-satuan masyarakat berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Amerika (Parsudi Suparlan, 1995: 8-11).
Selanjutnya masyarakat heterogen memiliki ciri-ciri bahwa:
1.      Pranata-pranata primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh pemerintah nasional;
2.      Kekuatan-kekuatan politik suku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui pengorganisasian yang berlandaskan pada solidaritas;
3.      Memiliki pranata alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbadaan dan keragaman.
Adanya tingkat kemajuan yang tinggi dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari perkembangan pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.
Masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1)                              Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
2)                              Berfungsi penyelamat
Di manapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama  mengajarkan para pengannutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (zat supernatural) itu bertujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah mennuju ke arah itu secara praktisnya dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, antaranya:
·         Mempersatukan diri dengan Tuhan (Pantheisme)
·         Pembebasan dan pensucian diri (penebusan dosa)
·         Kelahiran kembali (reinkarnasi)
 Untuk itu dipergunakan berbagai lambang keagamaan. Kehadiran Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda lambang. Kehadiran dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadirannya dalam menggunakan benda-benda lambang melalui:
a.       Theophania spontanea: Kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu: tempat angker, gunung, arca dan lainnya.
b.      Theophania innocativa: Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohon, baik malalui invocativa religius (mantera, dukun) maupun invotiva religius (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).

3)                              Berfungsi sebagai perdamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa beerdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya malalui: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
4)                              Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeliknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh pengannutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:
a.       Agama secara instansi, merupakan norma bagi penganutnya.
b.      Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).

5)                              Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: Iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan , bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
6)                              Berfungsi transformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
7)                              Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8)                              Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Alloh merupakan ibadah[5].


C.     KESIMPULAN
Hubungan erat antara agama dan masyarakat adalah tidak berarti agama yang harus menyesuaikan masyarakatnya. Tetapi perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama. Keberagaman dalam masyarakat sangat rentan menimbulkan gesekan-gesekanterjadinya konflik.
Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat walaupun berbau agama, bukan berarti konflik ini dipicu pleh ketegangan agama akan tetapi yang paling mempengaruhi adalah faktor-faktor diluar agama sebagai ras, budaya, suku, sosial, ekonomi, dan politik. Konflik dari faktor-faktor ini kemudian menjalar ke wilayah agama dan menjadikan konflik ini sebgai konflik agama. Dalam hal ini, agama tidak terlalu berperan mengatasi konflik karena dikesampingkan oleh ego dan identitas kelompok.
Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat yaitu berfungsi edukatif, penyelamat, pendamaian, sosial control, pemupuk rasa solidaritas, transformatif, kreatif, dan sublimatif.


 
DAFTAR PUSTAKA

Baidhawy, Zakiyunddin, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan, LESFI, Jogjakarta, 2002.
Ghazali, Adeng Muchtar, Agama dan Keberagamaan, Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Graffindo Persada, Jakarta, 2003.
Lubis, Ridwan, Letak Biru Peran Agama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2005.
Muhaimin, Damai di Dunia, Damai Untuk Semua, Puslitbang kehidupan beragama, Jakarta, 2004.





[1] Muhaimin A.G., Damai di Dunia, Damai Untuk Semua, (Jakarta: Puslitbang kehidupan Beragama, 2004), hlm. 109.
[2] Zakiyiddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, konflik dan Nirkekerasan, (Jogjakarta: LESFI, 2002), hlm. 57.
[3] H.M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, dalam pengantar editor, (Jakarta: Puslibang, 2005), hlm. X
[4] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, Agama Dan Keberagamaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 125.
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm. 247.

1 komentar:

  1. salam ukhuwah.... saya jadi bertanya2,
    satu, apa maksud "Tetapi perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama"?

    kedua, di kesimpulan: "perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama"

    tiga, lalu standar kebenaran itu apa? perilaku masyarakat kah? agama kah? atau apa?

    empat, klo agama bukan sbg standar perilaku masyarakat kenapa dihubung2kn dgn konflik, dll?

    lima, lalu apa sebenanya yg menyebabkan berbagai masalah timbul di masyarakat?
    terima kasih ... sala admin blog http://putra-dayeuhluhur.blogspot.com/

    BalasHapus