Cari Blog Ini

Minggu, 31 Mei 2015

Dasar Wajib Zakat Bagi Umat Islam


Oleh : Haerul Anam                  
  1. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang komprehensif. Semua yang berhubungan dengan peraturan untuk menjaga dan mengatur kehidupan manusia telah ditetapkan.
Allah telah memuliakan manusia dengan agama Islam, hingga ia hidup di dunia dengan kehidupan yang mulia dan layak. Dengan agama Islam juga manusia akan bahagia. Sudah pasti, agama islam menuntut pemeluknya untuk berta’abbud kepada Allah, berserah diri di hadapan Allah.
Adapun zakat, merupakan salah satu cara dan aturan yang telah dibuat Islam dengan membawa tugas sebagai muraqabah atas penghasilan seseorang yang didapatnya. Dengan zakat, penghasilan seseorang menjadi bersih, di samping membawa manfaat buat sekitarnya hingga kehidupan menjadi harmonis.
Dalam ajaran Islam, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang menempati peringkat ketiga, yakni setelah membaca dua kalimat syahadat dan shalat. Zakat hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ atau kesepakatan umat Islam. [1]
Allah SWT. berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. (QS. At-Taubah: 103), dan “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. (QS. Al-Muzzammil; 20). Bersumber dari Ibnu Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda, “Islam didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba sekaligus rasul utusan-Nya, mensirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan”. [2]
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut jelas bahwa mengeluarkan zakat itu wajib. Betapa pentingnya zakat bagi kehidupan manusia secara makro.
Di samping itu juga dapat dikatakan bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal. Sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
Juga terkandung suatu pengertian, bahwa menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkahan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan dan tidak akan berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman Allah SWT. terhadap pemiliknya.  
Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah SWT. dalam ayat yang ini pada lahirnya di tunjukan kepada Rasul-Nya dan turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya, namun ia juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum muslimin untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat.



  1. Gambaran Umum Teks
Surat yang kami ambil dalam pembahasan makalah kami ini adalah surat At Taubah ayat 99 yang bunyinya :
šÆÏBur É>#tôãF{$# `tB ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# äÏ­Gtƒur $tB ß,ÏÿZムBM»t/ãè%
yYÏã «!$# ÏNºuqn=|¹ur ÉAqߧ9$# 4 Iwr& $pk¨XÎ) ×pt/öè% öNçl°; 4 ÞOßgè=Åzôãy ª!$# Îû ÿ¾ÏmÏFuH÷qu 3 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÒÒÈ
“Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul. ketahuilah, Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka ke dalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At Taubah : 99) [3]

Disebutkan golongan munafik dari mereka sebelum disebutkannya golongan yang beriman adalah untuk menyambung pembahasan tentang kaum munafik Madinah yang sudah dibicarakan dalam segmen sebelumnya, juga untuk menyambung nuansa pembicaraan tentang kaum munafik yang akan dibicarakan.
“di antara orang-orang Arab Badui itu, ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian....”

Mereka terpaksa menafkahkan hartanya sebagai pembayaran zakat, dan untuk mendanai peperangan-peperangan kaum muslimin. Juga untuk menampak-nampakan islamnya agar dapat menikmati kesenangan hidup di dalam masyarakat muslim yang sedang berkuasa di jazirah Arab pada waktu itu. Akan tetapi, dia menganggap apa yang dinafkahkannya itu sebagai suatu kerugian yang ia tunaikan dengan terpaksa, bukan karena hendak menolong para pejuang yang sedang berperang. Juga bukan karena menginginkan kemenangan Islam dan kaum muslimin.
...dan dia menanti-nanti marabahaya menimpahmu...”
Dia menanti-nanti kapan marabahaya menimpa kaum muslimin, dan mengharap agar kaum muslimin tidak dapat pulang dari medan perang.
“....merekalah yang akan ditimpa marabahaya ....”
Seakan-akan marabahaya itu memiliki putaran yang akan menimpa mereka dan tak dapat dihindari, dan mengelilingi mereka sehingga tak dapat ditolak. Ini termasuk gaya bahasa personifikasi, melukiskan hal-hal yang immaterial sebagai sesuatu yang bertubuh, yang memperdalam kesan makna dan menghidupkannya.
“....Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.....”
Penyebutan sifat mendengar dan mengetahui di sini sangat relevan dengan nuansa penantian marabahaya oleh musuh-musuh kaum muslimin, dan kemunafikan yang disembunyikan dalam ketiak mereka dan dibungkus dengan amalan-amalan lahir. Allah mendengar apa yang mereka katakan dan mengetahui apa yang mereka nyatakan dan mereka sembunyikan.
Ada kelompok lain yang hatinya disentuh oleh keindahan iman. Iman kepada Allah dan hari akhir itulah yang mendorong hati golongan ini untuk berinfak, tidak takut kepada manusia, tidak merayu golongan yang menang, dan tidak memperhitungkan untung dan rugi di dunia.
Golongan yang beriman kepada Allah SWT. dan hari akhir memberikan infak untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan mencari doa Rasul-Nya. Pasalnya, doa Rasul itu menunjukkan bahwa beliau rela, dan diterimanya oleh Allah SWT. doa yang dipanjatkan oleh rasulullah untuk orang-orang yang memberikan infak untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridho-Nya.
Karena itu, dengan serta merta kalimat berikutnya menetapkan bahwa infak mereka diterima di sisi Allah SWT.
“....ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah)....”

Di informasikan kepada mereka akan akibat baik yang dijanjikan Allah SWT.
“....kelak Allah akan memasukan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya....”
Alqur’an menampilkan rahmat itu sebagai benda konkrit seolah-olah berupa tempat yang menampung mereka. Ini merupakan kebalikan dari “tempat yang menyedihkan”  bagi golongan yang lain. Yang menganggap infak itu sebagai suatu kerugian dan menanti-nanti marabahaya bagi orang-orang yang beriman.
“....sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang...”
Allah menerima taubat, menerima infak, mengampuni dosa dan menyayangi orang-orang  yang mencari rahmat-Nya.

  1. Latar Belakang Turunnya Ayat 
Surat At Taubah ayat 99 ini memiliki latar belakang/ asbabun nuzul yang bercerita tentang keadaan masyarakat pada masa Rasulullah SAW. Masyarakat ini ada yang beriman dan ada yang kafir/ingkar kepada kekuasaan dan perintah Allah SWT.
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadits lainnya melalui Aufi dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah SAW. memerintahkan orang-orang untuk bersiap-siap berangkat ke medan perang bersamanya. Maka datanglah segolongan dari para sahabat yang di antara mereka terdapat Abdulllah bin Ma’qal Al-Muzanniy. Lalu Abdullah bin Ma’qal Al-Muzanniy berkata, “Demi Allah, aku tidak mempunyai bekal yang cukup untuk membawa kalian.”  Maka mereka pergi dari hadapan Rasulullah SAW. Seraya menangis karena kecewa tidak dapat ikut  berjihad. Mereka tidak mempunyai biaya untuk itu dan tidak pula mempunyai kendaraan.[4] Maka tidak lama kemudian Allah SWT. menurunkan firman-Nya :
Ÿwur n?tã šúïÏ%©!$# #sŒÎ) !$tB x8öqs?r& óOßgn=ÏJóstGÏ9 |Mù=è% Iw ßÅ_r& !$tB öNà6è=ÏH÷qr& Ïmøn=tã (#q©9uqs? óOßgãZãôãr&¨r âÙÏÿs? z`ÏB ÆìøB¤$!$# $ºRtym žwr& (#rßÅgs $tB tbqà)ÏÿZムÇÒËÈ  
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”. [5] (At Taubah : 92)

Nama-nama mereka itu telah disebutkan didalam kitab Al-Mubhamat. Dan firman-Nya yang lain, yaitu “Dan di antara orang-orang Arab badui itu ada orang yang beriman kepada Allah..” (At taubah : 99). Ibnu Jari mengetengahkan sebuah hadits melalui mujahid yang telah mengatakan, bahwa ayat di atas diturunkan pula pada mereka ayat lainnya berkenaan dengan peristiwa  yang menimpa mereka, yaitu firman-Nya, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan...” (At taubah: 92). Abdurrahman bin Ma’qal Al-Muzanniy mengetengahkan pula sebuah hadits yang berkenaan dengan peristiwa ini. Ia menceritakan, “Pada saat itu jumlah kami ada sepuluh orang, semuanya dari anak-anak Bani Muqarrin”, kemudian turun pula ayat di atas berkenaan dengan diri kami(Bani Muqarrin).

  1. Analisis Bahasa dan Kata Kunci
Dalam ayat pembahasan di atas, (ÆÏBu) dalam (šÉ>#tôãF{$#ÆÏBur) diartikan “sebagian”. Dan kata (ÆÏB÷sãƒ) merupakan sifat dari (ÆÏBu)  dan kembalinya pada (šÉ>#tôãF{$#ÆÏBur). (Ï̍ÅzFy$# Qöquø9$#ur«!$$Î/) merupakan objek dari (ÆÏB÷sãƒ). (äÏ­Gtƒur) dan (,ÏÿZãƒ) kata kerja yang fa’ilnya (>#tôãF{$#ÆÏBu). (ÉAqߧ9$#Nºuqn=|¹ur«!$#YÏã) merupakan implikasi dari (,ÏÿZãƒ).
(ÏmÏFuH÷quÎû !$# Oßgè=Åzôãy 4öNçl°; 4 pt/öè% $pk¨XÎ) × Iwr&×  ) adalah penjelasan lebih lanjut dari implikasi.
Kata (BM»t/ãè% ) qurubaat adalah bentuk jamak dari kata (BM/ãè%) qurbah yang digunakan dalam arti sarana pendekatan diri kepada Allah. Bentuk jamak pada ayat ini mengisyaratkan aneka nafkah yang mereka berikan, masing-masing berdiri sendiri dan menjadi sarana pendekatan diri kepada-Nya.
 Kata (Nºuqn=|¹u) shalawaat adalah bentuk jamak dari kata (صلاة) shalaah. Kata ini mempunyai aneka makna sesuai dengan pelakunya. Bila pelaku-Nya Allah SWT, maka ia berarti curahan rahmat, bila pelakunya malaikat, maka maknanya adalah memohonkan maghfirah/ pengampunan, sedangkan bila pelakunya manusia, maka ia adalah doa kepada Allah SWT. Sementara ulama memahami kata shalawaat berhubungan dengan kata apa yang dia nafkahkan, bukan berkaitan dengan Allah SWT, seperti makan yang di kemukakan di atas, sehingga makna ayat ini, menurut penganut tafsir itu, adalah mereka menjadikan dari aneka amal saleh, seperti doa Rasul, sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT.
Kata (wr& ) alaa digunakan untuk meminta perhatian pendengar, karena itu ia diterjemahkan dengan ketahuilah. Dimulainya penggalan ayat ini dengan kata tersebut dan dengan kata sesungguhnya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang mereka harapkan dengan sedekah itu – yakni menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. – benar-benar akan terlaksana, sebagaimana yang mereka harapkan.[6]


  1. Munsabah
Surat At taubah ayat 99 ini masih bermunasabah dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 98 dan 34-35, serta ayat 103. bunyi ayatnya sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Í$t6ômF{$# Èb$t7÷d9$#ur tbqè=ä.ù'us9 tAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ šcrÝÁtƒur `tã È@Î6y «!$# 3 šúïÏ%©!$#ur šcrãÉ\õ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZムÎû È@Î6y «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌÍÈ   tPöqtƒ 4yJøtä $ygøŠn=tæ Îû Í$tR zO¨Zygy_ 2uqõ3çGsù $pkÍ5 öNßgèd$t6Å_ öNåkæ5qãZã_ur öNèdâqßgàßur ( #x»yd $tB öNè?÷t\Ÿ2 ö/ä3Å¡àÿRL{ (#qè%räsù $tB ÷LäêZä. šcrâÏYõ3s? ÇÌÎÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beri tahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (At Taubah : 34-35) [7]

z`ÏBur É>#{ôãF{$# `tB äÏ­Gtƒ $tB ß,ÏÿZム$YBtøótB ßÈ­/uŽtItƒur â/ä3Î/ tÍ¬!#ur¤$!$# 4 óOÎgøŠn=tæ äotÍ¬!#yŠ Ïäöq¡¡9$# 3 ª!$#ur ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÒÑÈ  
“Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At Taubah : 98)

õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[8] dan mensucikan[9] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At Taubah : 103)

Dan munasabah baenal surahnya yang saya ambil yaitu dengan surat Al Baqarah ayat 43 dan ayat 110. ayatnya sebagai berikut :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'[44].” (Al Baqarah : 43)

[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Al Baqarah : 110)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas yang bercerita, “Tatkala turun ayat emas dan perak ini menjadi resahlah sahabat Rasulullah dan mengeluh, “Tidak seorang di antara kami yang dapat meninggalkan harta untuk anaknya sekarang ini.” Maka pergilah Umar dengan diikuti oleh Tsauban bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Nabi Allah, menjadi resahlah para sahabatmu karena ayat ini”. Lalu bersabda beliau:
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan untuk membersihkan yang tersisa daripada harta kekayaannya, dan hanya menentukan fara’idh (pembagian warisan) dari harta yang kamu tinggalkan.” Maka bertakbirlah Umar mendengar sabda Rasulullah ini yang dengan sabdanya, “Tidaklah engkau suka aku beritahukan kepadamu apa yang sebaik-baiknya disimpan oleh seseorang? Ialah istri yang shaleh, bila dipandang menyenangkan, bila diperintah menurut dan bila ditinggal pergi menjaga dirinya dan nama suaminya”.[10]

  1. Analisis Sosio-Histotis
Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad saw. kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H. Pengumuman ini dismpaikan oleh Ali bin Abi Tholib pada musim haji tahun itu juga.
  Dalam islam, zakat baru disyari’atkan pada tahun kedua hijriah. Meskipun dalam Alquran, khususnya ayat-ayat yang diturunkan di Makkah(Makkiyah), zakat sudah banyak disinggung, secara resmi baru disyaratkan setelah Nabi Muhammad SAW. hijrah dari Makkah ke Madinah.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, pra-Islam zakat sudah pernah dilaksanakan sebelum kedatangan agama Islam. Kegiatan yang dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa Timur kuno di Asia, khususnya di kalangan bangsa-bangsa Timur bahwa meninggalkan kesenangan duniawi merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan. Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh kebahagiaan hidup di surga. Dalam syariat Nabi Musa as. zakat sudah dikenal, tetapi hanya dikenalkan terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti sapi, kambing, dan unta. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen dari nisab yang ditentukan. Bangsa Arab Jahiliyah mengenal sistem sedekah khusus, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am ayat 136.
  
  1. Relevansi Zakat Dalam Kehidupan
Salah satu problematika yang mendasar saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah problematika kemiskinan. Berdasarkan data resmi, angka kemiskinan di Negara kiat mencapai 36 juta jiwa, atau sekitar 16,4 % dari total penduduk Indonesia.[11] Sementara itu, angka pengangguran juga sangat tinggi, yaitu 28 juta jiwa, atau 12,7 % dari total penduduk.[12] 
            Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah Negara yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa hebatnya. Namun demikian, kondisi ini tidak termanfaatkan dengan baik, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Di mana-mana kita menyaksikan fenomena eksploitasi alam yang tidak terkendali. Hutan-hutan di babad habis, sehingga menyebabkan kerugian Negara mencapai 30 triliun rupiah ( 3 milyar dolar AS)[13]. Sumber daya alam lainnya, seperti mineral dan barang tambang, juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang terjadi adalah semua kekayaan tersebut, terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok sehingga menciptakan kesenjangan yang luar biasa besarnya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan bahwa pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang adalah perbuatan yang sangat di benci-Nya. Akibatnya adalah munculnya kesenjangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kita.
            Hal yang tidak kalah menyedihkan adalah bahwa kesenjangan ini telah menyebabkan terjadinya proses perubahan budaya bangsa yang sangat signifikan, dari bangsa berbudaya ramah, suka bergotong royong, dan saling toleransi, menjadi bangsa yang hedonis, kasar, pemarah, dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Yang kaya semakin arogan dengan kekayaannya, sementara yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Akibatnya, potensi konflik sosial menjadi sangat besar. Dan hal ini telah dibuktikan dengan beragamnya konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini.
            Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ke tidak adilan sistem. Kemiskinan  model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu ( the heve ) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu ( the heve  not )
            Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrument utama dalam ajaran Islam yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the heve kepada the heve not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan.

  1. Kesimpulan

Dari uraian di atas banyak sekali hikmah dan manfaat mensyariatjkan zakat, di antaranya :
  1. Membiasakan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) untuk bersifat dermawan dengan mencabut akar bakhil dan hubbun nafs yang berlebihan dalam diri sendiri yaitu dengan senantiasa mengingat bahwa zakat sekalipun tidak akan mengurangi hartanya sedikit pun, sebaliknya dengan zakat hartanya akan bertambah dan bahkan menjadi barakah. Rasul telah bersabda : “harta tidak akan berkurang dengan zakat”.(HR. Muslim). Bagaimana harta berkurang dengan zakat, sedangkan Allah yang akan memberkahi hartanya dengan sebab zakat, di samping Allah telah menyediakan baginya pahala yang agung di akhirat.
  2. Zakat termasuk salah satu cara untuk taqwiyah/mempererat tali ukhuwah antara muzakki dengan sekitarnya. Dengan zakat, timbullah kasih sayang dan saling mencintai antara si miskin dan si kaya. Yang miskin tidak hasd dengan yang kaya, karena ia mengerjakan haknya,sedangkan yang kaya merasa aman dari gangguan hasad yang miskin.
  3. Zakat bisa mengatasi masalah sosial kemasyarakatan yang salah satu sebabnya kefakiran. Dan masih banyak lagi hikmah yang lain yang bisa kita ambil dari fardunya zakat.
Adapun hukum orang yang tidak mengerjakan zakat karena ia mengingkari  kewajibannya , maka ia di hikumi kafir, karena zakat termasuk salah satu rukun Islam dan orang yang mengingkari salah satu rukun Islam maka telah keluar dari Islam dan ia dianggap kafir.
Sedangkan orang yang tidak mengerjakan zakat karena sifat bakhil dan ia tetap beriman akan kewajiban zakat maka ia di hukumi fasiq dan berdosa serta akan di adzab dengan siksa yang pedih di neraka. (lihat surat At taubah : 34-35).













  1. Daftar Pustaka

Hasan, Syekh. H. Abdul Halim, Tafsir Al-Akham, Jakarta : Kencana, 2006
Al Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al anshori, Al Jamili Ahkam Alquran, Beirut : Dara al kutub al ilmiah
Mahali, A. Mudjab, Asbabul Nuzul, Studi Pendalaman Alquran, Jakarta : Rajawali, 1989
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid IV, Juz 10,11, dan 12, Semarang, Citra Effhar, 1993
Data Biro Pusat (BPS), 2004
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul, Al lu’lu’ wal marjan,Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2006
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al - Mishbah : pesan, kesan, dan keserasian Al Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002 
Sairuddin, Drs, Kamus Arab Al azhar, Jombang : Lintas Media, 2006
 Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2004
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2007






[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo) hlm. 192
[2] H.R. Bukhari dan Muslim
[3] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid IV (Semarang : Citra Effhar, 1993)t.th
[4] Tafsir Ibnu Kasir 4, hlm. 129-131
[5] Maksudnya: mereka bersedih hati karena tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al - Mishbah : pesan, kesan, dan keserasian Al Qur’an (Jakarta : Lentera Hati) 2002, hlm. 694-695

[7]  Zaini Dahan , Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, tth) hlm. 339-340.
[8] Zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[9] Zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.


[10] Tafsir Ibnu Kasir, jilid 4, hal 49-50
[11] Data Biro Pusat (BPS), 2004
[12] Ibid, 2002
[13] Ibid, 2004