Cari Blog Ini

Jumat, 02 Desember 2011

PENDIDIKAN KEPRIBADIAN

Oleh: Haerul Anam
A. Hadits ‘Aisyah riwayat Muslim tentang wanita Makhzumiyah yang mencuri

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ قُرَيْشَا اَهَمَّهُمْ َشَأنَ الْمَرَّأَةِ اَلْمَخْزُوْمِيَّةِ اَلَتِى سَرَقَتْ فَقَالُوْا مَنْ يُكَلِّمُ فِيْهَا رَسُوْلَ اللهِ ص م ؟ فَقَالُوْا مَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ اُسَامَةُ حُبُّ رَسُوْلِ اللهِ فَكَلَّمَهُ اُسَامَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ تَْشْفَعْ فِىْ حَدٍّ منْ حُدُوْدِ اللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّمَا هَلَكَ أَلَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الْشَرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَاِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الْضَعِيْفُ اَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَاَيِمُ اللهِ لَوْأَنَّ فَاطِمَةِ بِنْتِ مُحَمَّدِ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Dari ‘Aisyah, sesungguhnya orang-orang Quraisy menganggap sangat serius kasus seorang perempuan Makhzumiyah yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasul (untuk minta dispensasi)?” Mereka berkata, “Siapa lagi kalau (bukan) Usamah kekasih Rasulullah Saw.” Maka Usamahpun (datang kepada Nabi) untuk membicarakannya. Kemudian Rasulullah pun bersabda: “Apakah kau hendak minta keringanan dari berlakunya hukum had?” Rasulullah kemudian kemudian berdiri lalu berpidato, “Wahai manusia, sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kamu sekalian ialah, ketika orang-orang terhormat di antara mereka mencuri, mereka biarkan (tanpa hukuman), dan apabila yang mencuri adalah orang-orang yang lemah (hina), lalu mereka tegakkan hukuman itu. Persetan (demi Allah), andaikata Fatimah anak perempuan Rasulullah mencuri, pasti akan kupotong juga tangannya.”
Penjelasan Hadits
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits tersebut dengan berbagai versi, ada yang lengkap dan ada yang tidak, semuanya saling melengkapi. Siapa wanita Makhzumiyah ini? Dalam riwayat tersebut belum jelas siapa orangnya. Dikatakan bahwa pada awalnya wanita Makhzumiyah tersebut hanyalah meminjam barang, tetapi lalu mengingkarinya. Kemudian Rasulullah mengkategorikan pengingkaran terhadap pinjaman sebagai tindakan mencuri. Muslim dalam salah satu riwayatnya menyebutkan bahwa peristiwanya terjadi pada waktu Fathu Makkah (penyerangan kota Mekah tahun 8 H). Di mana pada saat itu keadaan tidak dan belum menentu (perang) dijadikannya suatu kesempatan untuk melakukan kejahatan.
Jika menilik kapan peristiwa tersebut terjadi, dan manthuq hadits dengan kalimat saraqat (telah mencuri), penulis mempunyai kecenderungan bahwa wanita Makhzumiyah memang benar-benar melakukan perbuatan mencuri. Nama wanita pelaku tersebut tidak disebutkan namanya, barangkali saja ada kaitannya dengan sopan santun Islam yang tidak boleh membuka aib orang. Hanya saja wanita Makhzumiyah tersebut adalah orang Quraisy yang cukup terpandang.
Orang-orang Quraisy menganggap persoalan pencurian Mahzumiyah sebagai persoalan serius, mengingat pencurian dilakukan oleh orang terhormat dari suku Quraisy, dengan demikian akan menjatuhkan nama baik suku Quraisy. Lantaran itu diupayakanlah agar pencurian ini tidak berbekas dan diharapkan mendapatkan dispensasi hukuman dari Rasulullah. Namun, apa yang diharapkan suku Quraisy untuk mendapat dispensasi hukuman tidaklah menjadi kenyataan. Justru mendapat teguran halus dari Rasulullah bahwa keadilan harus ditegakkan.
Mengapa wanita terhormat dalam hadits ini melakukan pencurian?? Jawabnya ialah lantaran wanita Makhzumiyah tersebut telah kehilangan kepribadiannya. Sebagai wanita muslimah terhormat, telah lepas tali imannya, sehingga perbuatannya mencerminkan pribadi yang pecah. Iman yang dimilikinya belum bisa merupakan faktor integratif, sehingga keyakinan, penghayatan dan pengalaman agamanya belum bisa menjadi perisai diri dari kepribadian yang goyah.
Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Kepribadian seseorang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, dan etika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari di manapun ia berada. Artinya, etika, moral, norma, dan nilai yang dimiliki akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal:
1. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan.
2. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang misalnya keluarga, teman, atau pergaulan.
Untuk menjadi muslim yang berkepribadian utuh, dituntut kemampuan diri untuk menjadikan iman atau agama sebagai faktor terpenting pada dirinya, sehingga (dengannya) dapat menghindarkan diri dari berbagai tantangan, gangguan, dan ancaman serta cobaan hidup dan kehidupan. Untuk itu diperlukan latihan dan pendidikan yang terus menerus serta pembinaan yang berkepanjangan.
Dalam konteks pendidikan di sekolah upaya yang perlu dilakukan untuk mengembalikan pendidikan kepribadian yang hilang terhadap peserta didik adalah pertama sekolah tidak harus menghabiskan waktu temu guru-siswa hanya untuk membahas soal-soal prediksi UN akan tetapi perlu meluangkan waktu pada setiap guru mengajar untuk menanamkan akhlak, dan budi pekerti melalui cerita-cerita yang menarik. Melalui cerita-cerita tersebut akan tumbuh sikap dan perilaku siswa untuk meniru tokoh cerita yang disajikan.
Kedua, pemberian tauladan para tokoh masyarakat, guru, pejabat dan segenap sosok orang tua sendiri. Mereka dilihat langsung oleh siswa. Baik dan buruk perilaku mereka akan mengisi ruang memori dan pada gilirannya pengetahuan yang diperoleh ini akan menjadi konsep dalam bersikap dan berperilaku para generasi muda tersebut.
Ketiga, hendaknya ada evaluasi afektif yang bermakna dan berkesinambungan dalam proses pendidikan di sekolah. Sejak SD hingga perguruan tinggi, evaluasi afektif ini hendaknya diterapkan baik tertulis maupun praktek keseharian.


B. Hadits Hudzaifah Ibnu Yaman riwayat at-Turmudzy, tentang perlunya berprinsip dalam kehidupan

عَنْ خُذْيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م لاَ تَكُوْنُوْا اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ إِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَاِنْ ظَلَمُوْا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوْا اَنْفُسَكُمْ إِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوْا وَاِنْ اَسَاَءُوْا فَلاَ تُظْلِمُوْا (الترمدى)
Hudzaifah berkata, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda: “Janganlah kalian menjadi tidak berpendirian, kalian berkata, “Jika manusia berbuat baik, kamipun berbuat baik, dan jika manusia berbuat dholim, kamipun berbuat dholim; akan tetapi tetaplah pada pendirian kalian. Jika orang-orang berbuat kebaikan, berbuat baiklah kalian, dan jika orang-orang berbuat kejahatan, janganlah kalian berbuat kejahatan”. (H.R. Turmudzi)
Penjelasan Hadits
Ada 2 hal yang perlu digaris bawahi dalam hadits tersebut, yaitu:
1. Larangan bagi umat Islam untuk ikut-ikutan, artinya manusia muslim dilarang bersifat seperti bunglon yang pandai berubah warna dalam setiap situasi.
2. Perintah Nabi kepada umat Islam agar mempunyai pendirian (prinsip). Pendirian yang dimaksud adalah pendirian yang dibangun atas dasar tauhid, yang pada gilirannya akan menciptakan manusia yang berpribadi, tidak mudah goyah dan tidak mudah pula terpengaruh.
Pada hadits lain disebutkan bahwa manusia yang tidak mempunyai pendirian diibaratkan seonggok buih di tengah lautan, yang akan bergerak searah gerakan angin yang menghempasnya. Sifat inilah yang menyebabkan kehancuran umat Islam.
Meskipun demikian, Islam tidak mengajarkan kepada umatnya bukan untuk melahirkan sifat kekakuan, sebaliknya keluwesan dalam menghadapi persoalan bukanlah menjadi indikasi lemahnya prinsip Islam yang dimiliki.
Betapa pentingnya istiqomah dalam kehidupan karena dapat menuntun kita ke jalan yang benar dan diridhai Allah SWT. Berpendirian atau istiqomah berarti teguh atas jalan yang lurus, berpegang pada akidah Islam dan melaksanakan syariat dengan teguh, tidak berubah dan berpaling walau dalam keadaan apapun.
Unsur-unsur utama istiqomah atau berpendirian yaitu:
1. Berpegang pada akidah yang benar.
2. Melaksanakan tuntutan syariat Islam yang berpedoman pada Al-Quran dan hadits.
3. Mempunyai prinsip dan keyakinan yang tidak akan berubah atau goyah.
4. Tidak terpengaruh dengan godaan hawa nafsu dan syaitan.
5. Tidak tunduk pada tekanan demi melaksanakan tanggung jawab dan mempertahankan kebenaran.
Ada tiga tahap Istiqomah yang perlu berlaku serentak yaitu:
1. Istiqomah hati yaitu senantiasa teguh dalam mempertahankan kesucian iman dengan cara menjaga kesucian hati daripada sifat syirik, menjauhi sifat-sifat tercela seperti ria dan menyuburkan hati dengan sifat terpuji terutama ikhlas. Dengan kata lain Istiqomah hati bermaksud mempunyai keyakinan yang kukuh terhadap kebenaran.
2. Istiqomah lisan yaitu memelihara lisan atau tutur kata supaya senantiasa berkata benar dan jujur, setepat kata hati yang berpegang pada prinsip kebenaran dan jujur, tidak berpura-pura, tidak bermuka dua dan tidak berbolak balik.
3. Istiqomah perbuatan yaitu tekun berkerja atau melakukan amalan atau melakukan apa saja usaha untuk mencapai kejayaan yang di ridhai Allah. Dengan kata lain istiqomah perbuatan merupakan sikap dedikasi dalam melakukan suatu pekerjaan atau perjuangan menegakkan kebenaran, tanpa rasa kecewa, lemah semangat atau putus asa.

C. Nilai Edukasi:
Dari dua hadits di atas dapat diambil nilai edukasi antara lain:
1. Tidak dibenarkan dalam Islam membuka aib seseorang, karena belum tentu perilaku kita lebih baik daripada orang lain di mata Allah.
2. Sebagai manusia muslim dituntut berkepribadian yang sehat.
3. Kepribadian sangat penting karena berpengaruh terhadap akhlak dan moral seseorang. Jika pribadi kita baik, maka secara otomatis perilaku dan moral kita akan mengikutinya.
4. Baik dan tidaknya kepribadian seseorang tidak diukur dengan kedudukan atau jabatan yang tinggi.
5. Ketidakadilan dalam penerapan hokum menjadi penyebab kehancuran suatu umat.
6. Iman dan agama merupakan faktor penting untuk membentuk kepribadian yang baik.
7. Sebagai manusia dituntut untuk berpendirian atau berprinsip sehingga tidak mudah terpengaruh terhadap keburukan.
8. Untuk menjadi orang yang mempunyai pendirian, perlu memiliki kepribadian yang utuh, yakni suatu kepribadian yang tidak mudah memudar.


DAFTAR PUSTAKA

 Abi Zakaria Yahya Ibnu Syarif An-Nawawi, Shohih Muslim Jilid 6, Libanon: Darul Fikri, 2000
 Adib Bisri Musthofa, Terjemah Shahih Muslim jilid 3, Semarang: CV. As-Syifa, 1993
 Moh. Roqib dan Nurfuadi, Kepribadian Guru, Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009
 Moh. Zuhri Dipl, TAFL dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992
 Muhammad Dailamy, Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadits Bag. II, 2006
 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006
 Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kairo: Daarul Hadits, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar