Cari Blog Ini

Senin, 16 April 2012

Agama Dalam Konflik Masyarakat


A.    PENDAHULUAN
Masyarakat merupakan kemajemukan dari berbagai unsur, baik etnis, budaya dan agama. Keberagaman dan pluralitas di dalamnya begitu kental mewarnai kemajemukan ini. Mulai dari keanekaragaman budayanya yang saling berbeda antara daerah satu dan lainnya, negara satu dengan negara lainnya, etnis yang bermacam-macam dengan tradisi yang berbeda pula, agama yang berbeda, tingkat sosial dan tatanan sosial lainnya.
Dalam keberagaman dan kemajemukan ini, peran agam sangatlah berpengaruh. Agama sebagai realitas pengalaman manusia dapat diamati dalam aktivitas kehidupan keagamaannya sehari-hari, meliputi aspek-aspek kepercayaan, ibadat, pengelompokan umat, dan emosi keagamaan. Dalam hal ini agama mempunyai hubungan vertikal (hubungan terhadap Tuhannya) dan hubungan horizontal (hubungan antara individu dan lingkungan sekitar). Oleh karena itu agama sebagai sistem kepercayaan tentu memerlukan masyarakat sebagai tempat memelihara dan mengembangkan agama.
Pemahaman sikap dan prilaku keagamaan senantiasa berkembang mengikuti pikiran manusia. Sekalipun agama dan kitab suci diyakini berasal dari Tuhan, penafsirannya dilakukan oleh manusia dan pelaksananya berlangsung dalam masyarakat manusia. Jelasnya agama dan masyarakat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Agama sebagai sistem yang mengatur makna dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebgai gejala sosial, sering kali dianggap tidak berperan sama sekali ketika dihadapkan pada konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat entah itu penjarahan, tawuran, pembunuhan, pemerkosaan, konflik antar ras, konflik antar kelompok beragama seperti pembakaran gereja (peristiwa ketapang, Jakarta 1998), pembakaran masjid (Kupang, Januari 1999) dan konflik sosial antar suku berupa pembunuhan di Sambas (Kalimantan Barat, 1999), dan Sampit (Kalimantan Tengah, 2001). Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
1)            Peran agama dalam konflik masyarakat, sebagai akar atau sebagai jalan tengah?
2)            Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat?
Makalah kami ini disusun dalam rangka menjawab dan menjelaskan permasalahan-permasalahan diatas. Karena sangat ironis sekali jika agama dituding berada dibalik semua itu atau tidak punya peran/fungsi.

B.     PEMBAHASAN
Agama Dalam Konflik Masyarakat
Selama satu decade di akhir abad 20, beberapa konflik meledak di banyak wilayah dunia,terutama Indonesia. Menurut pandangan banyak analis politik dan ilmuwan social, era perang dingin dan konflik ideologis telah menghantarkan pada era perang etnik dan konflik kebudayaan. Konflik etnik adalah gambaran yang tak dapat ditolak dalam panorama sosio-politik kontemporer.
Mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lain, ditunjang oleh perkembangan modernitas seperti  : kemudahan transportasi, tekhnologi informasi dan media cetak maupun elektronik, serta program transmigrasi dari pemerintah menimbulkan  pergeseran nilai-nilai budaya antar etnis terasa sebagai “cultural shock”[1], mengingat adanya kesenjangan budaya yang demikian besar antar etnis di Indonesia. Pergeseran dari interaksi nilah yang menimbulkan riak-riak kecil, yang dapat merupakan ancaman budaya dan agama masyarakat, ketika kepentingan lain juga memasuki wilayah itu, misalnya : kepentingan ekonomi dan bahkan kepentingan politik.
Ditinjau dari aspek budaya, adanya perbedaan budaya yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku manusia, temperamen maupun emosi sangat kasat mata bentuknya. Budaya dan tradisi yang sudah turun-temurun mengalami semacam ancaman dengan pergeseran dan datangnya kultur-kultur yang baru. Kesenjangan sosial baik karena faktor ekonomi maupun politik, tingkat pendidikan yang tidak seimbang, heterogen agama dan pemahamannya serta kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya, menimbulkan ketegangan-ketegangan konflik dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai agama dan umat beragama dapat terlibat secara langsung.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia, meskipun sering dibantah atau ditutup-tutupi, sesungguhnya membenarkan bahwa memang ada aspek agama yang menyertai konflik, meskipun konflik itu berawal dari masalah di luar agama.
Melihat kehadiran agama yang merembes di berbagai daerah konflik etnik, bukan berarti bahwa agama sebagai penjelasan terbaik tentang konflik-konflik tersebut. Hanya karena suatu faktor (dalam kasus agama) hadir dalam kasus tertentu, tidak berarti ia dominan atau utama,  faktor-faktor lain bisa jadi lebih dominan. Perbedaan sosio-ekonomi antara kelompok-kelompok etnik itu sendiri dapat memberikan penjelasan yang tepat bagi hampir semua konflik etnik.
Hubungan sebab-akibat antara agama dan konflik etnik adalah persoalan yang cukup problematik. Dalam banyak kasus, agama adalah etnisitas, identitas agama merupakan unsur utama pembentuk identitas etnik[2]. Identitas  agama pada umumnya ditransformasi menjadi identitas etnik dalam waktu yang panjang. Suatu agama sering memulainya sebagai kredo/keyakinan abstrak dengan tampilan dan ruang lingkup universal. Kemudian agama mengkristal menjadi seperangkat ritual dan kebiasaan yang lebih kongkret yang membedakan komunits tertentu dari komunitas lainnya. Kemudian komunitas agama menjadi komunitas etnik. Inilah yang menyebabkan adanya pandangan bahwa agama adalah sebuah budaya, padahal agama adalah wahyu Tuhan yang masuk membenahi budaya-budaya yang ada.
Dalam konflik-konflik masyarakat, agama dikatakan Komarudin Hidayat, datang dengan wajah ganda, sebagai kekuatan konstruktif sekaligus destruktif, sebagai pendorong perdamaian sekaligus kerusuhan.[3] Akan tetapi pada saat konflik terjadi agama kurang begitu berperan dan dipandang sebagai kekuatan destruktif, karena dituding sebagai akar dari gejolak konflik, sedangkan peran konstruktif baru muncul saat setelah konflik berakhir. Disini agama berperan sebagai pendamai melalui berbagai dialog antar umat beragama, peran tokoh-tokoh agama dan lembaga-lembaga keagamaan.
Sedangkan dalam buku Agama dan Keberagamaan[4], berpendapat bahwa, konflik masyarakat ini masalahnya bukan karena agama datang dengan menimbulkan konflik/sebagai akar masalah, dan tampil tanpa moral dan nilai-nilai kesusilaan, tetapi karena para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan ekslusif dalam artian bahwa subjektivitas kebenaran yang diyakininya sering kali menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain, padahal hakekatnya esensi semua agama adalah mengajak pada kebenaran yang mutlak yaitu tuhan YME.
Masyarakat adalah gabungan dan kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kesepakatan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu:
1.                  Masyarakat homogen
2.                  Masyarakat majemuk
3.                  Masyarakat heterogen
Masyarakat homogen ditandai oleh adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang dinginkan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam bentuk satuan-satuan masyarakat berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Amerika (Parsudi Suparlan, 1995: 8-11).
Selanjutnya masyarakat heterogen memiliki ciri-ciri bahwa:
1.      Pranata-pranata primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh pemerintah nasional;
2.      Kekuatan-kekuatan politik suku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui pengorganisasian yang berlandaskan pada solidaritas;
3.      Memiliki pranata alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbadaan dan keragaman.
Adanya tingkat kemajuan yang tinggi dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari perkembangan pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.
Masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1)                              Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
2)                              Berfungsi penyelamat
Di manapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama  mengajarkan para pengannutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (zat supernatural) itu bertujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah mennuju ke arah itu secara praktisnya dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, antaranya:
·         Mempersatukan diri dengan Tuhan (Pantheisme)
·         Pembebasan dan pensucian diri (penebusan dosa)
·         Kelahiran kembali (reinkarnasi)
 Untuk itu dipergunakan berbagai lambang keagamaan. Kehadiran Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda lambang. Kehadiran dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadirannya dalam menggunakan benda-benda lambang melalui:
a.       Theophania spontanea: Kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu: tempat angker, gunung, arca dan lainnya.
b.      Theophania innocativa: Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohon, baik malalui invocativa religius (mantera, dukun) maupun invotiva religius (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).

3)                              Berfungsi sebagai perdamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa beerdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya malalui: tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
4)                              Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeliknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh pengannutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:
a.       Agama secara instansi, merupakan norma bagi penganutnya.
b.      Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).

5)                              Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: Iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan , bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
6)                              Berfungsi transformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
7)                              Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8)                              Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Alloh merupakan ibadah[5].


C.     KESIMPULAN
Hubungan erat antara agama dan masyarakat adalah tidak berarti agama yang harus menyesuaikan masyarakatnya. Tetapi perilaku masyarakat sebagai tolak ukur terhadap pemikiran-pemikiran agama. Keberagaman dalam masyarakat sangat rentan menimbulkan gesekan-gesekanterjadinya konflik.
Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat walaupun berbau agama, bukan berarti konflik ini dipicu pleh ketegangan agama akan tetapi yang paling mempengaruhi adalah faktor-faktor diluar agama sebagai ras, budaya, suku, sosial, ekonomi, dan politik. Konflik dari faktor-faktor ini kemudian menjalar ke wilayah agama dan menjadikan konflik ini sebgai konflik agama. Dalam hal ini, agama tidak terlalu berperan mengatasi konflik karena dikesampingkan oleh ego dan identitas kelompok.
Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat yaitu berfungsi edukatif, penyelamat, pendamaian, sosial control, pemupuk rasa solidaritas, transformatif, kreatif, dan sublimatif.


 
DAFTAR PUSTAKA

Baidhawy, Zakiyunddin, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan, LESFI, Jogjakarta, 2002.
Ghazali, Adeng Muchtar, Agama dan Keberagamaan, Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Graffindo Persada, Jakarta, 2003.
Lubis, Ridwan, Letak Biru Peran Agama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2005.
Muhaimin, Damai di Dunia, Damai Untuk Semua, Puslitbang kehidupan beragama, Jakarta, 2004.





[1] Muhaimin A.G., Damai di Dunia, Damai Untuk Semua, (Jakarta: Puslitbang kehidupan Beragama, 2004), hlm. 109.
[2] Zakiyiddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, konflik dan Nirkekerasan, (Jogjakarta: LESFI, 2002), hlm. 57.
[3] H.M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, dalam pengantar editor, (Jakarta: Puslibang, 2005), hlm. X
[4] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, Agama Dan Keberagamaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 125.
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),hlm. 247.

Jumat, 13 April 2012

Contoh Udangan/ Uleman


Taman Surga, 30 Maret 2012

Katur dhumateng Bpk./Ibu/Sdr.
Abu Abdillah Al Hazh
Wonten ing Dusun telaga Kasih Sayang

Bismillahirrohmaanirrohim
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Nuwun. Hawiyosipun serat punika sesulihing badan kawula sowan wonten ing ngarsa panjenengan sekaliyan. Mbok bilih Gusti Allah SWT hangganjar wilujeng ing samudayanipun, kula sebrayat badhe hanggadhahi niat ningkahaken yoga kula ingkang nami,

Fatimah Az Zahra
binti Abdullah

pikantuk,

Muhammad Yusuf Al Aziz
bin Luqmanul Hakim

Ugi hangajab rawuhipun para sutresna, hangestreni khajat nikah ingkang bade rinakit mbenjang ing,
Dinten                          : Kamis Wage
Surya kaping                 : 5 April 2012
Wanci                           : Tabuh 11:00 wekdal iring kilen ~ sak bibaripun.
Panggenan                     : Istana Bunga, Gang Melati, Desa Taman Surga

Mbok menawi panjenengan sekaliyan wonten dhanganing penggalih sarta mboten pikantuk alangan sak tunggal punapa, kula aturi anyekseni lan angrawuhi khajat lan niat kula kasebat.

Awit saking rawuhipun para sutresna, keparenga kula nelak aken agunging panuwun. Cekap semanten atur serat ulem punika. Tuhu langgeng trisno.

Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Atur Taklim Kula,
Kulawarga Bapak lan Ibu SUDARMADJI (Pacitan)
Kulawarga Bapak lan Ibu SUWADJININGRAT (Ngayogyakarta)
DEVIE & DANANG





Taman Surga, 30 Maret 2012

Katur dhumateng Bpk./Ibu/Sdr.
Abu Abdillah Al Hazh
Wonten ing Dusun telaga Kasih Sayang

Bismillahirohmaanirrohim

Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Kairing Sagunging Pakurmatan.
Nuwun. Sesarengan kalian serat menika kula nyaosi pirsa, mugi Gusti Allah SWT tansah hangganjar kawilujengan ing samudayanipun. Kula badhe hanggadhahi khajat hangemah-emahaken yoga kula estri ingkang nami, PUTRI INDRASWARI DEVIE badhe kadhaupaken kaliyan nak mas ANGGER DANANG WISNU DARPITO putra kakungipun Bapak SUWADJININGRAT saking Nyamplung, Ambar Ketawang, Gamping, Sleman, NGAYOGYAKARTA. Menggah ijab kabulipun badhe kaangkah ing,

Dinten                          : Minggu Kliwon
Surya kaping                : 19 September 2010
Wanci                          : tabuh 09:00 wekdal iring kilen.
Panggenan                    : Masjid Besar Al-Akbar Kabupaten PACITAN

Ingkang menika, menawi sepen ing sedaya reribetan saha dhangan ing penggalih, keparenga kula ngaturi rawuh panjenengan sekaliyan ing pahargyan dhauping pinanganten mbenjang,

Dinten                          : Minggu Kliwon
Surya kaping                : 19 September 2010
Wanci                          : tabuh 11:00 wekdal iring kilen ~ sak bibaripun
Panggenan                    : Gedung Graha Bhayangkara Kabupaten PACITAN

Saperlu hangestreni saha paring donga pangestu dhumateng pinanganten kekalih sumrambah ing sedayanipun.

Mekaten atur kula, awit rawuh saha paring donga pangestunipun Bapak Ibu sekaliyan, kula ngaturaken agunging panuwun.

Matur nuwun.

Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.

Atur taklim kula,



Bpk. SUDARMADJI sakluarga.

AHLUS SUNNAH TAAT KEPADA PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN


Oleh: Haerul Anam 
Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiyatan, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena mentaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wajib. 
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala "Artinya : Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian"[An-Nisaa : 59] Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Artinya : Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [1] Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [2] Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : …Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam...“ [3] Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Artinya : Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.” [4] Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. 
Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan musibah apa saja yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaaf-kan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” [Asy-Syuraa: 30] Allah Azza wa Jalla juga berfirman. “Artinya : Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan"[Al-An’aam: 129] Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.” [5] Syaikh al-Albani rahimahulah berkata: “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan lisan kita’ karena itu agar umat Islam selamat: [1]. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [2]. Hendaklah mereka memperbaiki ‘aqidah mereka. [3]. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. "Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d: 11] Ada seorang da’i berkata: "Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak Islam di negaramu.” Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. "Artinya : ... Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa"[Al-Hajj: 40] [6] Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan agar menasihati ulil amri dengan cara yang baik serta mendo’akan amir yang fasiq agar diberi petunjuk untuk melaksanakan kebaikan dan istiqamah di atas kebaikan, karena baiknya mereka bermanfaat untuk ia dan rakyatnya. Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.” Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.” 
Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari do’anya.” [6]
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa'i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351 no. 181) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah. 
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864), an-Nasa'i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini adalah lafazh Muslim. 
[3]. HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-Hakim.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa'i (VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no. 2450-2451), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. 
[5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki. 
[6]. Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.

AHLUS SUNNAH TAAT KEPADA PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN

Oleh Haerul anam Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiyatan, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena mentaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wajib. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala "Artinya : Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian"[An-Nisaa : 59] Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Artinya : Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [1] Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [2] Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : …Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam...“ [3] Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Artinya : Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.” [4] Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan musibah apa saja yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaaf-kan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” [Asy-Syuraa: 30] Allah Azza wa Jalla juga berfirman. “Artinya : Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan"[Al-An’aam: 129] Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.” [5] Syaikh al-Albani rahimahulah berkata: “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan lisan kita’ karena itu agar umat Islam selamat: [1]. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [2]. Hendaklah mereka memperbaiki ‘aqidah mereka. [3]. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. "Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d: 11] Ada seorang da’i berkata: "Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak Islam di negaramu.” Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. "Artinya : ... Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Maha Perkasa"[Al-Hajj: 40] [6] Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan agar menasihati ulil amri dengan cara yang baik serta mendo’akan amir yang fasiq agar diberi petunjuk untuk melaksanakan kebaikan dan istiqamah di atas kebaikan, karena baiknya mereka bermanfaat untuk ia dan rakyatnya. Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.” Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.” Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari do’anya.” [6] [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam ASy-Safi'i, Cetakan Ketiga. PO Box 7803/JACC 13340 Foote Note [1]. HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa'i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351 no. 181) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah. [2]. HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864), an-Nasa'i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini adalah lafazh Muslim. [3]. HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-Hakim. [4]. HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa'i (VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no. 2450-2451), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. [5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki. [6]. Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.